TEEETTTT...TEEETTT... Bunyi bel tanda istirahat membuat suasana sekolah yang ada di Jalan Kartini, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur yang sebelumnya hening, tiba-tiba terdengar riuh teriakan para siswa yang keluar dari ruang kelas. Di antara mereka, ada yang langsung berlari ke kantin. Ada pula yang keluar dari gerbang utama untuk membeli makanan yang dijajakan oleh belasan pedagang yang sejak pagi “mangkal” di depan sekolah. Sementara, ada pula siswa yang memilih bermain bersama temantemannya di halaman sekolah.
Jika melihat sekilas, tujuh ruang yang ada di sekolah itu berbeda dengan bangunan baru yang ada di sisi timur baupun sisi barat. Daun pintu dan jendela dari kayu jati bercat putih dan pink, ukurannya lebih besar dan lebih tinggi dari ukuran daun jendela model sekarang. Seorang perempuan berbatik hijau pun keluar dari ruang guru. FL Tutik Warliyah SPd, Perempuan yang juga guru Kelas 4 SD Negeri Sarirejo itu pun menyambut penulis.
’’Dulu, namanya SD Negeri Kartini. Berdiri pada 15 September 1913. Kami masih mengusulkan sekolah ini sebagai benda cagar budaya. Karena itu sejak dulu memang tidak pernah ada perubahan bentuk bangunan. Bangunan asli, daun pintu, jendela dan aksesori di dalamnya memang tidak diubah.’’
Tutik menjelaskan, siswa di sekolah itu berasal dari beragam kalangan dan etnis. Bahkan, siswanya tidak hanya dari wilayah Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur saja. Akan tetapi, juga berasal dari Genuk, Bangetayu, Pucanggading, dan Ngaliyan.
Kepala SD Negeri Sarirejo, Hj S Anna Fitriyah SPd ketika ditemui di ruangannya menambahkan, bangunan sekolah yang sebelum 2010 bernama SD Negeri Kartini itu, berdasarkan buku berbahasa Belanda, Jubilem Verslag uitgegeven ter gelegenheid van het 25 jarig bestaan der Vereeniging Kartinifonds te ‘s Gravenhage, dibangun oleh arsitek bernama Ir Henricus Maclaine Port. Arsitek yang juga merancang kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1920.
Karya Pont yang lain di antaranya Gereja Pohsarang di Kediri, Stasion Poncol di Semarang, perencanaan wilayah Darmo di Surabaya, serta Semarang-Cheribon Stoomtraam Maatschappij dan Koloniale Tentoonstelling Semarang.
’’SD ini dibangun dengan dana hasil penjualan buku-buku milik Raden Ajeng Kardinah Reksonegoro, adik kandung RA Kartini. Jumlah siswa pada 1913, mencapai 112 orang, Kelas 1 dibagi tiga kelas dengan 87 orang dan kelas 2 ada 25 orang. Kalau bangunan asli kantor, sebelumnya menghadap ke Jalan Dr Cipto,’’ katanya.
Anna menjelaskan, dari buku induk 1953, siswa SD Negeri Kartini kebanyakan berasal dari kalangan bangsawan. Ada beberapa nama siswa seperti Roro Sutilah kelahiran 1938 anak kandung Raden Yudho Wiyono warga Karangkebon Kidul, Roro Siti Riyadi kelahiran Kampung Yusuf 1937.
Dari catatan sejarah pula, menurut Anna, dulu peringatan atau upacara Hari Kartini dilaksanakan di sekolah ini. Kantor yang menghadap ke Jalan Dr Cipto pun, entah alasannya apa, diambil alih Pemerintah Kota Semarang untuk dibangun kantor Dinas Pasar.
’’Kantor sekolah dibongkar dan dibangun baru dan menghadap ke barat. Bangun asli tetap kita pertahankan, karena sekolah ini bangunannya sama seperti Kartinischool yang ada di Malang, Bandung, Solo, Madiun, Pekalongan, dan Yogyakarta,’’ katanya.
Selain itu, buku Jubilem Verslag uitgegeven ter gelegenheid van het 25 jarig bestaan der Vereeniging Kartinifonds te ‘s Gravenhage yang berisi tentang sejarah sekolah itu pun hingga kini belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
’’Kami tidak ada anggaran untuk biaya penerjemah. Tapi kami berharap, ada yang membantu, agar nama sekolah ini bisa seperti dulu, SD Negeri Kartini, karena ada kaitannya dengan perjalanan RA Kartini. Jalan Kartini pun kemungkinan dahulu diambil dari nama sekolah ini,’’ katanya didampingi guru Kelas 5, Tri Sugiyono, kemarin.
Ratusan piala yang berjajar di ruang kepala sekolah, imbuh Tri Sugiyono menjadi bukti, jika prestasi para siswa SD Negeri Sarirejo tidak diragukan lagi. Juara lomba presenter kecil tingkat nasional, juara karya tulis ilmiah dan puluhan juara lomba tingkat provinsi Jawa Tengah hingga Kota Semarang pun pernah diraih sekolah yang memiliki 669 siswa itu. (KS)
Jika melihat sekilas, tujuh ruang yang ada di sekolah itu berbeda dengan bangunan baru yang ada di sisi timur baupun sisi barat. Daun pintu dan jendela dari kayu jati bercat putih dan pink, ukurannya lebih besar dan lebih tinggi dari ukuran daun jendela model sekarang. Seorang perempuan berbatik hijau pun keluar dari ruang guru. FL Tutik Warliyah SPd, Perempuan yang juga guru Kelas 4 SD Negeri Sarirejo itu pun menyambut penulis.
’’Dulu, namanya SD Negeri Kartini. Berdiri pada 15 September 1913. Kami masih mengusulkan sekolah ini sebagai benda cagar budaya. Karena itu sejak dulu memang tidak pernah ada perubahan bentuk bangunan. Bangunan asli, daun pintu, jendela dan aksesori di dalamnya memang tidak diubah.’’
Tutik menjelaskan, siswa di sekolah itu berasal dari beragam kalangan dan etnis. Bahkan, siswanya tidak hanya dari wilayah Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur saja. Akan tetapi, juga berasal dari Genuk, Bangetayu, Pucanggading, dan Ngaliyan.
Kepala SD Negeri Sarirejo, Hj S Anna Fitriyah SPd ketika ditemui di ruangannya menambahkan, bangunan sekolah yang sebelum 2010 bernama SD Negeri Kartini itu, berdasarkan buku berbahasa Belanda, Jubilem Verslag uitgegeven ter gelegenheid van het 25 jarig bestaan der Vereeniging Kartinifonds te ‘s Gravenhage, dibangun oleh arsitek bernama Ir Henricus Maclaine Port. Arsitek yang juga merancang kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1920.
Karya Pont yang lain di antaranya Gereja Pohsarang di Kediri, Stasion Poncol di Semarang, perencanaan wilayah Darmo di Surabaya, serta Semarang-Cheribon Stoomtraam Maatschappij dan Koloniale Tentoonstelling Semarang.
’’SD ini dibangun dengan dana hasil penjualan buku-buku milik Raden Ajeng Kardinah Reksonegoro, adik kandung RA Kartini. Jumlah siswa pada 1913, mencapai 112 orang, Kelas 1 dibagi tiga kelas dengan 87 orang dan kelas 2 ada 25 orang. Kalau bangunan asli kantor, sebelumnya menghadap ke Jalan Dr Cipto,’’ katanya.
Anna menjelaskan, dari buku induk 1953, siswa SD Negeri Kartini kebanyakan berasal dari kalangan bangsawan. Ada beberapa nama siswa seperti Roro Sutilah kelahiran 1938 anak kandung Raden Yudho Wiyono warga Karangkebon Kidul, Roro Siti Riyadi kelahiran Kampung Yusuf 1937.
Dari catatan sejarah pula, menurut Anna, dulu peringatan atau upacara Hari Kartini dilaksanakan di sekolah ini. Kantor yang menghadap ke Jalan Dr Cipto pun, entah alasannya apa, diambil alih Pemerintah Kota Semarang untuk dibangun kantor Dinas Pasar.
’’Kantor sekolah dibongkar dan dibangun baru dan menghadap ke barat. Bangun asli tetap kita pertahankan, karena sekolah ini bangunannya sama seperti Kartinischool yang ada di Malang, Bandung, Solo, Madiun, Pekalongan, dan Yogyakarta,’’ katanya.
Selain itu, buku Jubilem Verslag uitgegeven ter gelegenheid van het 25 jarig bestaan der Vereeniging Kartinifonds te ‘s Gravenhage yang berisi tentang sejarah sekolah itu pun hingga kini belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
’’Kami tidak ada anggaran untuk biaya penerjemah. Tapi kami berharap, ada yang membantu, agar nama sekolah ini bisa seperti dulu, SD Negeri Kartini, karena ada kaitannya dengan perjalanan RA Kartini. Jalan Kartini pun kemungkinan dahulu diambil dari nama sekolah ini,’’ katanya didampingi guru Kelas 5, Tri Sugiyono, kemarin.
Ratusan piala yang berjajar di ruang kepala sekolah, imbuh Tri Sugiyono menjadi bukti, jika prestasi para siswa SD Negeri Sarirejo tidak diragukan lagi. Juara lomba presenter kecil tingkat nasional, juara karya tulis ilmiah dan puluhan juara lomba tingkat provinsi Jawa Tengah hingga Kota Semarang pun pernah diraih sekolah yang memiliki 669 siswa itu. (KS)
Comments
Post a Comment