Kedungmundu, Dulu Pemakaman, Kini Pemukiman

SEBELUM menjadi pemukiman, tempat usaha seperti toko, bengkel, warung makan dan perkantoran seperti sekarang ini, wilayah Kedungmundu sebelum 1900-an merupakan hutan dan hanyalah berdiri beberapa kampung seperti Kedungmundu, Rogojembangan, Ngemplak, Tlumpak dan Sendangguwo.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, makam Tionghoa yang saat itu berada di wilayah Candi baru pun dipindah ke lereng perbukitan Cinde, Kinibalu hingga Sendangguwo. Karena berlomba dengan berdirinya pemukiman penduduk, area makam pun bergeser ke perbukitan Kedungmundu yang ada di sisi selatan.
Dipilihnya perbukitan sebagai pemakaman, dalam budaya Tionghoa dan ilmu fengshui, bukit dengan spesifikasi tertentu membawa pengaruh yang baik bagi kehidupan keluarga yang ditinggalkan.
''Kalau dulu, makan Tionghoa disini tidak menyatu di satu lokasi, tetapi berpencar membentuk kelompok-kelompok. Sisa-sisa makam masih bisa dilihat seperti bukit yang ada di seberang pemancingan Jowo Deles. Dulu, orang menyebutnya bong renteng. Sementara pemakaman besar dan dibangun megah ada di wilayah Tandang dan Sambiroto, tapi juga tidak semua disini,'' ujar Heryono (60), warga Sambiroto, Kecamatan Tembalang, saat ditemui di areal pemakaman Tionghoa.
Paska Presiden Soeharto lengser, tanah makam di wilayah Sendangguwo dan Karanggawang yang tidak terawat diserbu warga untuk didirikan bangunan rumah dan kios. Tak hanya itu, warga pun mengurus hak kepemilikan atas tanah yang ditempatinya.
Lurah Tandang Suwito saat ditemui di kantornya menjelaskan, tanah makam Kedungmundu sendiri secara administratif berada di wilayah Kelurahan Tandang, Kedungmundu, Sendangguwo dan Sambiroto, Kecamatan Tembalang. 
Pemakaman umum yang dikelola masyarakat sendiri ada tiga tempat, yakni Gunung Alap-alap, Kemuning Arum dan Banteng Loreng. Sementara itu, makam Tionghoa hanya memang untuk tempat pemakaman warga Tionghoa dengan model sewa antara Rp 60 juta hingga 100 juta per 10 hingga 15 tahunnya.
''Kalau pemakaman umum masyarakat, hanya mengisi kas pembangunan antara Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu. Kantor PDAM, kantor kelurahan ini saja dulu juga pemakaman. Pemakaman umum juga ada, namanya pemakaman Jatisari, luasannya kurang dari satu hektar, sifatnya untuk seluruh warga Kota Semarang. Saat ini juga belum overload,'' paparnya.
Suwito juga menambahkan, pada 1990-an, banyak makam Tionghoa yang dibongkar oleh oknum warga yang menginginkan harta yang ikut dikubur seperti emas, uang, pakaian dan kayu jati. Seiring meningkatnya perekonomian warga, aksi pembongkaran makam untuk mendapatkan barang berharga pun kini tak terjadi lagi. (KS)

Comments

Post a Comment