Pasar Yaik yang ada di Jalan Alun-alun Barat menuju Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman, meski bukan termasuk kawasan cagar budaya Pasar Johar, keberadaannya memiliki nilai sejarah dan kebudayaan bagi Kota Semarang.
PEMBERIAN nama-nama Kampung di wilayah Kota Semarang atau dikenal sebagai toponim, sudah dikenal masyarakat sejak awal keberadaannya. Toponim berasal dari bahasa Yunani, topos dan nomos. Topos berarti tempat, sedangkan nomos berarti nama. Jadi, pengertian toponim adalah nama suatu tempat.
Dalam perkembangannya, pengertian toponim tidak hanya pada nama suatu tempat tetapi lebih luas, yaitu pada upaya untuk mencari asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologi nama suatu tempat/daerah. Kajian tentang toponim sangat erat dengan kajian sejarah.
Seperti penamaan Pasar Yaik. Asal mula nama pasar YA’IK, menurut Jongkie Tio dalam bukunya Kota Semarang dalam Kenangan disebutkan, menurut cerita, nama Ja’ik berasal dari sayembara yang digelar oleh Harian Suara Merdeka dalam upaya mencari nama bagi "Aloon-aloon" Semarang, atas usul pemilik koran.
Yaik merupakan kata untuk menunjukan kepuasan, "ya…ikk…!" yang biasa terucap dari mulut penjual sebagai pertanda terjadi kesepakatan atau deal harga antara penjual dan pembeli. Maka orang selalu mengatakan "Ya’ik luuurrr"...
Keberadaan Pasar Yaik pun tidak lepas dari alun-alun, Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman dan kantor kabupaten. Sebelum menjadi pasar, kawasan Yaik Permai dan Yaik Baru merupakan area alun-alun Semarang.
Di sisi barat, berdiri Masjid Kauman. Di sisi selatan, berdiri kantor bupati atau yang disebut Kanjengan. Di sisi utara, berdiri Hotel Metro. Sementara, di sisi timur, berdiri Pasar Johar. Kawasan Kanjengan sendiri, sebelum menjadi pertokoan, terdapat sebuah pendapa yang kemudian dipindah ke Gunung Talang, Kecamatan Gajahmungkur pada 1974.
Hal itu dengan Surat Perjanjian bernomor Sok 2c/5/16/Nas’74 tertanggal 11 Juni 1974. Surat itu berisi 10 pasal kesepakatan antara Hadijanto Wali Kota Semarang dan Sartono Sutandi selaku Direktur Utama PT Pagar Gunung Kencana (PGK). Isinya menyebutkan jika tanah Kanjengan akan dikosongkan kemudian dibangun pertokoan dan perumahan, otomatis kantor bupati dan kediamannya dicabut begitu saja ke Sampangan.
Jadi Terminal
Ketua Takmir Masjid Kauman, KH Hanief Ismail, yang lahir di Kampung Kemplongan Kauman 64 tahun lalu itu menuturkan masa kecilnya sering bermain di alun-alun bersama teman-temannya. Kawasan alun-alun, menurutnya meliputi kawasan yang saat ini menjadi Pasar Yaik hingga ke timur berbatasan langsung dengan Pasar Johar. Sementara, ke utara, hingga kawasan yang saat ini berdiri Hotel Metro.
''Alun-alun Semarang terbelah oleh Jalan Agus Salim. Di Jalan Agus Salim, dulu juga jadi terminal bis. Kemudian, terminal dipindah ke lahan yang sekarang menjadi Matahari, kemudian dipindah lagi ke Bubakan,'' tuturnya.
Pada masa kecil, Kyai Hanif pun sering bermain ke alun-alun untuk melihat atraksi yang digelar pedagang jamu Bopo Biyung. Atraksi itu berupa sepeda putar, sepeda roda satu yang dimainkan oleh orang-orang cebol.
Alun-alun dahulu pun terlihat sepi mulai pagi hingga siang. Para pedagang mulai menggelar dagangannya dengan tenda, usai shalat Ashar. Para pedagang pun banyak kala itu karena di sisi utara masjid berdiri bioskop Orion yang kemudian berganti nama menjadi bioskop Rahayu. Menjelang 1980, lahan paling utara alun-alun pun dibangun Hotel Metro, sementara lahan disisi utaranya lagi yang sebelumnya menjadi Kantor Kodam, berubah menjadi kantor Golkar.
''Selain untuk berjualan pada sore hingga malam hari, alun-alun dahulu juga pernah digunakan untuk apel akbar PKI maupun NU. Ciri khas pohon beringin juga ada, letaknya di sisi timur depan Johar dan di utara yang sekarang menjadi Hotel Metro,'' jelasnya.
Karena pedagang semakin ramai, alun-alun pun berubah menjadi pasar hingga saat ini. Padahal, dahulu, selain menjadi bagian alun-alun, sekitar 1960-1970-an, kawasan Pasar Yaik juga digunakan sebagai terminal yang melayani trayek antarkota dan dalam kota.
''Pasar Yaik dahulu juga disebut pasar malam, karena hanya buka pada malam hari. Kemudian, sekitar 1970-an dibangunlah pasar untuk mengakomodasi kegiatan pedagang yang semakin tidak terkendali dan terakomodasi,'' jelasnya. (KS)
Comments
Post a Comment