Bisnis laundry di Kota Semarang ternyata sudah ada sejak 1959. Salahsatunya bernama Wassery, yang didirikan almarhum Atlan, asal Kabupaten Pati di Jalan Gajah Mada 68. Kini, usaha itu masih tetap eksis meski bisnis laundry menjamur di seluruh sudut Kota Semarang. Bagaimana kisahnya?
KETIKA melintasi Jalan Gajah Mada, mungkin letak usaha jasa cuci pakaian ini tidak terlihat, karena diapit oleh toko modern dan bangunan tinggi. Apalagi, kondisi bangunan yang hanya berukuran 6 meter x 8 meter sudah cukup tua, karena tergolong bangunan peninggalan Belanda.
Saat saya memasuki ruangan toko, seorang laki-laki pun menyambut ramah. Santoso (44), bapak dua anak warga Bongsari RT 6 RW 2 Semarang Barat itu merupakan generasi ketiga usaha Wassery. Setelah sang kakek, almarhum Atlan meninggal pada 1994, usaha pun dilanjutkan sang ibu, Sri Mulyani (63).
''Kakek saya dulu bekerja di kantor milik Pemerintah Belanda, sambilannya jualan kap lampu dan menjahit. Setelah pensiun, mulai 1959, beliau mendirikan Wassery. Namanya diambil dari istilah laundry pada jaman Belanda. Namanya pun sampai sekarang masih kami pakai,'' tuturnya.
Ketika berdiri, untuk mencuci pakaian, kakek dibantu karyawan. Mencucinya pun masih manual, menggunakan tangan. Menyetrikanya pun juga menggunakan setrika arang seberat lima kilogram. Untuk konsumen, almarhum Atlan kala itu berkeliling ke kantor tempat bekerja dahulu maupun ke kenalannya.
''Langganan kakek dulu ya pejabat-pejabat. Selain itu, juga para pembeli kap lampu, karena di sela-sela mencuci pakaian, kakek berkeliling menjual kap lampu,'' ujarnya.
Untuk per potongnya, sang Kakek mematok harga Rp 6.000. Patokan itu berdasarkan letak Wassery yang berada di tengah kota. Para pelanggan lama pun hingga kini masih tetap diberikan harga lama sesuai pesan Atlan sebelum meninggal dunia, "mengalah untuk konsumen, pelanggan lama diberi harga lama."
Untuk konsumen baru, rata-rata merupakan pejabat PNS di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Bahkan, Dachirin Said, mantan bupati Demak yang kini sudah meninggal dunia, merupakan pelanggan lama sang kakek.
Dua almari yang menempel di dinding dan almari etalase yang terbuat dari kayu jati dan kaca tebal pun sampai saat ini masih terawat dengan baik. Almari tinggi digunakan untuk menggantung pakaian seperti jas dan baju kehormatan. Sementara, almari etalase, digunakan sebagai meja dan meletakkan pakaian yang sudah selesai dicuci dan disetrika. Lantai tegel polos dan bermotif pun sejak dulu juga belum pernah diganti.
''Model bangunan pun masih sama, ada pintu besar dan pintu kecil di samping, kalau orang dahulu menyebutnya pintu lekong (kecil),'' tandas Santoso.
Untuk harga, Santoso mematok Rp 15 ribu per potongnya dengan jangka waktu empat hari pengambilan. Untuk menjaga kualitas cucian, Santoso tidak hanya mencuci dengan mesin, kadangkala ia masih menggunakan tangan atau secara manual. Misalnya, jas dan baju seragam para pejabat.
Jam buka Wassery pun mulai pukul 10.00 hingga pukul 19.00. Ia pun yakin, usahanya itu akan tetap bertahan, karena sesuai prinsip yang disampaikan sang kakek, usaha akan bertahan jika tetap menjaga hubungan baik dengan pelanggannya.
Apalagi, munculnya beragam merek laundry belakangan ini, menjadi salah satu bukti nyata bahwa peluang bisnis jasa ini semakin hari semakin diminati pasar. Bahkan tidak sedikit pelaku usaha yang mengembangkan bisnis laundry-nya dengan sistem kemitraan (franchise).
Sebab, peluang pasarnya masih sangat luas dan prospek bisnisnya pun masih sangat bagus. Sehingga diperkirakan untuk tahun-tahun ke depannya peluang bisnis ini akan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Terbukti, bisnis laundry menjamur di perkotaan hingga pinggiran. (KS)
KETIKA melintasi Jalan Gajah Mada, mungkin letak usaha jasa cuci pakaian ini tidak terlihat, karena diapit oleh toko modern dan bangunan tinggi. Apalagi, kondisi bangunan yang hanya berukuran 6 meter x 8 meter sudah cukup tua, karena tergolong bangunan peninggalan Belanda.
Saat saya memasuki ruangan toko, seorang laki-laki pun menyambut ramah. Santoso (44), bapak dua anak warga Bongsari RT 6 RW 2 Semarang Barat itu merupakan generasi ketiga usaha Wassery. Setelah sang kakek, almarhum Atlan meninggal pada 1994, usaha pun dilanjutkan sang ibu, Sri Mulyani (63).
''Kakek saya dulu bekerja di kantor milik Pemerintah Belanda, sambilannya jualan kap lampu dan menjahit. Setelah pensiun, mulai 1959, beliau mendirikan Wassery. Namanya diambil dari istilah laundry pada jaman Belanda. Namanya pun sampai sekarang masih kami pakai,'' tuturnya.
Ketika berdiri, untuk mencuci pakaian, kakek dibantu karyawan. Mencucinya pun masih manual, menggunakan tangan. Menyetrikanya pun juga menggunakan setrika arang seberat lima kilogram. Untuk konsumen, almarhum Atlan kala itu berkeliling ke kantor tempat bekerja dahulu maupun ke kenalannya.
''Langganan kakek dulu ya pejabat-pejabat. Selain itu, juga para pembeli kap lampu, karena di sela-sela mencuci pakaian, kakek berkeliling menjual kap lampu,'' ujarnya.
Untuk per potongnya, sang Kakek mematok harga Rp 6.000. Patokan itu berdasarkan letak Wassery yang berada di tengah kota. Para pelanggan lama pun hingga kini masih tetap diberikan harga lama sesuai pesan Atlan sebelum meninggal dunia, "mengalah untuk konsumen, pelanggan lama diberi harga lama."
Untuk konsumen baru, rata-rata merupakan pejabat PNS di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Bahkan, Dachirin Said, mantan bupati Demak yang kini sudah meninggal dunia, merupakan pelanggan lama sang kakek.
Dua almari yang menempel di dinding dan almari etalase yang terbuat dari kayu jati dan kaca tebal pun sampai saat ini masih terawat dengan baik. Almari tinggi digunakan untuk menggantung pakaian seperti jas dan baju kehormatan. Sementara, almari etalase, digunakan sebagai meja dan meletakkan pakaian yang sudah selesai dicuci dan disetrika. Lantai tegel polos dan bermotif pun sejak dulu juga belum pernah diganti.
''Model bangunan pun masih sama, ada pintu besar dan pintu kecil di samping, kalau orang dahulu menyebutnya pintu lekong (kecil),'' tandas Santoso.
Untuk harga, Santoso mematok Rp 15 ribu per potongnya dengan jangka waktu empat hari pengambilan. Untuk menjaga kualitas cucian, Santoso tidak hanya mencuci dengan mesin, kadangkala ia masih menggunakan tangan atau secara manual. Misalnya, jas dan baju seragam para pejabat.
Jam buka Wassery pun mulai pukul 10.00 hingga pukul 19.00. Ia pun yakin, usahanya itu akan tetap bertahan, karena sesuai prinsip yang disampaikan sang kakek, usaha akan bertahan jika tetap menjaga hubungan baik dengan pelanggannya.
Apalagi, munculnya beragam merek laundry belakangan ini, menjadi salah satu bukti nyata bahwa peluang bisnis jasa ini semakin hari semakin diminati pasar. Bahkan tidak sedikit pelaku usaha yang mengembangkan bisnis laundry-nya dengan sistem kemitraan (franchise).
Sebab, peluang pasarnya masih sangat luas dan prospek bisnisnya pun masih sangat bagus. Sehingga diperkirakan untuk tahun-tahun ke depannya peluang bisnis ini akan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Terbukti, bisnis laundry menjamur di perkotaan hingga pinggiran. (KS)


Comments
Post a Comment