Sudah beberapa, studio foto tua di Kota Semarang itu terpaksa tidak melayani jasa pemotretan karena sering terendam rob. Bangunan tua dua lantai dari tembok dan kayu yang hampir roboh karena dimakan usia itu, menjadi saksi bisu. Saksi atas kisah kehidupan warga Kampung Melayu yang multi etnik, maupun percintaan sesaat para anak buah kapal yang mengabadikannya lewat foto. Bagaimana kisah seni foto non digital yang pernah berjaya di era 1980-an itu?
ADZAN Maghrib berkumandang dari menara Masjid Layur di Kampung Melayu. Warga keturunan Arab Yaman maupun umat muslim keturunan Banjar pun berduyun-duyun menata shof di belakang imam. Tak hanya orang tua, belasan anak-anak berjajar di serambi belakang.
Sementara di sudut jalan Kampung Melayu, belasan laki-laki berotot besar keturunan Papua dan Bugis berjalan menyusuri gang kecil. Bersama mereka, beberapa perempuan bergaun pendek dengan make up yang sedikit mencolok dan rambut panjang terurai, tersibak karena angin berhembus cukup kencang.
Langkah kaki mereka terhenti di depan bangunan lantai dua bercat putih. Papan putih berukuran 1 x 4 meter bertuliskan Seni Foto Gerak Cepat berwarna hitam menempel di antara lantai satu dan lantai dua.
''Silahkan, mau foto? Hitam putih atau berwarna? Satu-satu atau berpasangan?'' tanya pemilik studio foto bernama Ali Mahroos itu.
''Berapa tarifnya Pak?" tanya salah seorang dari belasan lelaki itu.
''Kalau ukuran 3 x 4, empat lembar Rp 50, kalau 3R Rp 500,'' jawab Ali.
''Kami mau foto 3R saja,'' pinta lelaki keturunan Bugis itu.
Beberapa saat kemudian, beberapa gaya dan adegan yang diinginkan itupun diabadikan dengan beberapa kali jepretan dari Yashica, kamera manual produksi Jepang pada 1970.
Itulah kesibukan sehari-hari Studio Foto Seni Gerak Cepat di Jalan Layur 121 pada 1980-an yang runtut diceritakan oleh perempuan bernama Nurul Hidayah, putri kandung kedua dari almarhum Ali Mahroos bin Abdullah Mahroos, saat ditemui.
Sementara di sudut jalan Kampung Melayu, belasan laki-laki berotot besar keturunan Papua dan Bugis berjalan menyusuri gang kecil. Bersama mereka, beberapa perempuan bergaun pendek dengan make up yang sedikit mencolok dan rambut panjang terurai, tersibak karena angin berhembus cukup kencang.
Langkah kaki mereka terhenti di depan bangunan lantai dua bercat putih. Papan putih berukuran 1 x 4 meter bertuliskan Seni Foto Gerak Cepat berwarna hitam menempel di antara lantai satu dan lantai dua.
''Silahkan, mau foto? Hitam putih atau berwarna? Satu-satu atau berpasangan?'' tanya pemilik studio foto bernama Ali Mahroos itu.
''Berapa tarifnya Pak?" tanya salah seorang dari belasan lelaki itu.
''Kalau ukuran 3 x 4, empat lembar Rp 50, kalau 3R Rp 500,'' jawab Ali.
''Kami mau foto 3R saja,'' pinta lelaki keturunan Bugis itu.
Beberapa saat kemudian, beberapa gaya dan adegan yang diinginkan itupun diabadikan dengan beberapa kali jepretan dari Yashica, kamera manual produksi Jepang pada 1970.
Itulah kesibukan sehari-hari Studio Foto Seni Gerak Cepat di Jalan Layur 121 pada 1980-an yang runtut diceritakan oleh perempuan bernama Nurul Hidayah, putri kandung kedua dari almarhum Ali Mahroos bin Abdullah Mahroos, saat ditemui.
Sejak berdiri pada 1970, ayahnya juga melayani foto panggilan. Beberapa peralatan pendukung seperti tripod dan enam kap lampu yang kini masih terawat itu, tidak dibeli dari toko, namun dibuat sendiri oleh ayahnya.
''Konsumennya, dulu kebanyakan dari anak buah kapal (ABK) yang mengabadikan kisah percintaan sesaatnya dengan perempuan penjaja seks komersil atau PSK. Bagi mereka, dapat berfoto dengan perempuan-perempuan itu merupakan kebahagiaan tersendiri,'' tutur perempuan yang lahir pada 6 Juni 1967.
Selain ABK, kata ibu tiga anak itu, warga yang baru saja melangsungkan pernikahan secara sederhana, sering meminta difoto dengan background menyusuri anak tangga dan kamar pengantin.
''Kamar saya terutama, sering menjadi tempat foto pengantin. Sebelum digunakan, saya menghiasinya dengan ornamen kamar pengantin. Beberapa sudut rumah ini, termasuk tangga ke lantai dua, semua juga bisa menjadi background foto,'' ujar istri Agus Santoso (45).
Nama studio Seni Foto Gerak Cepat sendiri dibuat karena, pada saat itu di beberapa studio lain yang ada, setiap konsumen yang menginginkan cetakan foto untuk kepentingan pembuatan KTP harus menunggu selama satu minggu.
''Namun di tempat kami, hanya butuh butuh waktu satu jam saja. Ketepatan waktu, kualitas hasil cetakan menjadi prinsip kami membuka usaha ini. Gerak cepat pokoknya dalam melayani konsumen, dan itu alasan ayah memberi nama studionya,'' jelasnya.
Penggunaan bahan, mulai dari kertas foto, larutan Superbroom, Trawas hingga Hypo Clearing Agent, dipilih yang memiliki kualitas terbaik. Sehingga, hasil cetakan foto dapat bertahan lama. Meski sekarang ini peralatan lebih canggih, cetak foto bisa dilakukan dalam hitungan detik dengan printer.
''Meski warnanya lebih cerah, tajam, namun tidak tahan lama, ini yang membedakan dengan sistem cetak foto non digital yang hingga saat ini masih kami terapkan, dengan komposisi warna yang lebih alami,'' katanya.
Namun, karena genangan rob yang merendam bangunan itu, studio foto yang terletak di sudut Kampung Melayu, Kelurahan Kuningan, Kecamatan Semarang utara itu seakan kehilangan daya pikatnya. Pemandangan indah, meja penerima order foto serta ruang tamu yang dulu dipakai sebagai latar studio semakin rapat tergulung dan tampak lusuh. Beberapa tembok di sudut ruangan bangunan Belanda bergaya arsitektur Cina itu juga mulai runtuh. Kayu dan papan jati yang ada di lantai dua juga mulai rapuh. Di sudut bangunan, beberapa tumbuhan juga dibiarkan tumbuh merayap di sela-sela tembok yang batu batanya mulai nampak tergerus.
''Untuk membangun rumah ini juga kami tidak berwenang, karena ini sudah tercatat sebagai bangunan cagar budaya dan untuk menjualnya, jelas tidak diperbolehkan. Ayah saya statusnya menyewa, karena bangunan dan lahan ini merupakan wakaf Yayasan Al Irsyad,'' paparnya.
Ditengah persaingan kecanggihan teknologi studio foto moderen, Nurul pun mengaku tak ingin kehilangan gerak cepatnya. Ia tetap mengandalkan kamera manual peninggalan ayahnya untuk memuaskan konsumennya.
''Saya hanya khawatir, olahan foto yang diwariskan turun temurun ini akan terhenti setelah saya dan suami meninggal dunia. Karena, ketiga anak saya lebih memilih kamera dan sistem cetak yang lebih moderen,'' imbuhnya. (KS)



Comments
Post a Comment