Rumah Ahlussahliyah, Dihuni 40 KK Tampung 140 Jiwa

Pada umumnya, satu rumah hanya dihuni kurang dari 10 jiwa yang terdiri dari bapak, ibu dan anak. Namun, rumah tua yang ada di belakang Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman itu dihuni oleh 40 kepala keluarga dan menampung 140 jiwa.
BANGUNAN besar yang terbentang dari mulut gang hingga ujung gang yang lainnya itu hanya dibatasi dengan gang selebar satu meter dengan rumah lainnya. Rumah yang diperkirakan berumur 100 tahun lebih itu masih berdiri kokoh disangga tiang-tiang, tembok bata dan sebagian terbuat dari kayu jati yang sudah kusam.
Di balkon-balkon rumah berlantai dua itu nampak gantungan jemuran pakaian yang tidak tertata rapi. Pintu jati dicat warna krem masih terlihat utuh. Sebagian atap seng sudang mulai berlubang. Sebuah warung makan sederhana dengan spanduk MMT bertuliskan Unit Lapar Darurat Ibu Silmun berdiri di teras depan rumah bagian kanan.
Memasuki dalam rumah, kamar-kamar memenuhi ruangan yang berlantai tegel yang sebagian rusak dan di cor semen.Tidak ada sekat yang membedakan ruang untuk parkir kendaraan dan dapur. Semua ada dalam rumah itu. Maklum, bangunan seluas 20 meter x 50 meter itu dihuni oleh 40 kepala keluarga dan menampung hingga 140 jiwa.
Rumah unik berlantai dua yang ada di Jl Bangunharjo RT 01 RW 02 Kelurahan Bangunharjo, Kecamatan Semarang Tengah itu pada awal mulanya milik Kyai Sahli bin Salim, seorang pemuka agama Islam yang berasal dari Kalimantan. Kemudian beberapa puluh tahun yang lalu, dia merantau ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Sudah lima kitab yang dia tulis untuk membantu dakwahnya.
Kemudian pada tahun 1900-an, Kyai Sahli memutuskan untuk menetap di Semarang bersama tujuh istrinya. Dari tujuh istri, Kyai Sahli dikaruniai 42 anak. Dengan bertambahnya jumlah keluarga, Kyai Sahli pun membuat satu bangunan yang diperuntukkan bagi 42 anak dan para cucunya. Hingga terciptalah Ahlussahliyah, atau rumah keluarga Sahli. Hingga hari ini, Rumah Ahlussahliyah berisi 25 kamar yang diperuntukkan bagi keturunan Kyai Sahli.
"Sampai saat ini belum pernah dilakukan renovasi total pada rumah ini," tutur Usman (43) keturunan ketiga dari keluarga Sahli, sekaligus Ketua RT diwilayah itu. Rumah arsitekturnya berupa kamar-kamar seluas 3 x 3 itu terbuat dari kayu jati yang kokoh. Menariknya, disanalah pusat berbagai kegiatan dari pengikut Kyai Sahli digelar.
"Disini rutin diselenggarakan pengajian umat Kyai Sahli," lanjut bapak satu anak itu disela-sela kesibukannya. Ada tiga pengajian yang tidak pernah dilewatkan dari rumah tersebut. Diantaranya adalah pengajian rutin tiap hari Jumat, biasanya yang datang hanya pengikut Kyai Sahli yang berdomisili di Semarang. Kemudian ada pengajian Ahad, yaitu pengajian yang diselenggarakan tiap awal bulan pada kalender Jawa. "Pengajian Ahad ini, selalu ramai iikuti jamaah dari luar daerah, seperti Surabaya hingga Kalimantan," tuturnya. Selain itu, juga ada pengajian khataman Quran untuk menyambut datangnya Ramadhan.
Disela-sela pekerjaannya sebagai wiraswasta, Usman tidak kepayahan untuk mengurus lingkungan RT-nya. "Karena semua yang disini masih ada hubungan keluarga, jadi tidak pernah ada perselisihan," jelas Usman.
Rifki (20) salah seorang penghuni Ahlussahliyah mengungkapkan bahwa atmosfir kekeluargaan di rumah itu cukup kental. "Saya kurang mengenal yang tua-tua, tapi mereka sangat ramah," ujarnya.
Usman sadar, tidak mudah memang untuk mengelola keluarga besar keturunan kakek buyutnya. Namun dengan dukungan dari semua keluarga besarnya, dia yakin bahwa Ahlussahliyah tetap memiliki prospek yang cerah kedepan sebagai rumah besar bagi keturunan Kyai Sahli.
Silmun (53) cucu Kyai Sahli menambahkan, untuk kebutuhan mandi, mencuci dan masak mereka tidak hanya mengandalkan dua sumur kotak berukuran 4 x 4 meter. ''Sejak dulu, khusus untuk masak, membeli air dari kios yang ada di depan rumah. Kalau sekarang sudah dipasang pipa dari PDAM. Agar tidak saling berebut ketika mandi, masing-masing keluarga membuat kamar mandi sendiri juga,'' ujar ibu empat anak di sela-sela berjualan makanan di depan rumah itu.
Silmun mengakui, masalah tentu saja selalu muncul tidak diduga di dalam rumah itu. Namun, untuk mengatasinya, saling bersabar dan mendengar nasehat yang lebih tua, menjadi hal yang wajib dilakukan oleh yang lebih muda.
Cucu Kyai Sahli lainnya, Muhammad (60) menuturkan, dari cerita ayahnya, meski tidak tahu persis urutan keberapa, Kyai Sahli merupakan keturunan Raden Patah dan Ki Ageng Selo. Keturunan Kyai Sahli, kata Muhammad, tidak ada satupun yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS). ''Hampir mayoritas, termasuk saya, adalah pedagang. Saya juga tidak tahu, mengapa tidak ada yang menjadi pegawai,'' tuturnya. (KS)

Comments

  1. Ada kok keturunan kyai Sahli yg jadi PNS (Putri n cucu Kyai Hisyam bin Sahli)

    ReplyDelete

Post a Comment