Ribut Waidi, Legenda Sepakbola Semarang

Para pecinta olahraga sepak bola tentu tidak asing lagi nama Ribut Waidi. Namun, belum tentu semua warga tahu, patung yang sedang menggiring bola di Jalan Karangrejo atau di depan Gedung PLN kawasan Jatingaleh tepatnya jalur utama menuju Stadion Jatidiri adalah Ribut Waidi, sang legenda pemain sepak bola di tanah air.

NAMANYA menjadi salah satu legenda sepak bola nasional setelah menjadi penentu kemenangan Indonesia saat menghadapi Malaysia pada partai final SEA Games 1987 di Senayan, Jakarta.
Nama Ribut Waidi juga melambung ketika ikut mengantarkan PSIS Semarang meraih gelar juara Perserikatan pada 1987. Dalam partai final, di Stadion Gelora Bung Karno, PSIS melibas Persebaya Surabaya dengan skor 1-0 melalui gol kemenangan yang dicetak oleh Syaiful Amri. Walau tidak mencetak gol di final, Ribut Waidi yang saat itu menjadi kapten tim dinobatkan sebagai pemain terbaik.
Bisa jadi, di eranya Ribut Waidi ini tepatnya pada 1987, PSIS melahirkan salah satu generasi emas terbaiknya. Kala itu skuat PSIS, diisi penggawa hebat seperti FX Tjahjono, Saiful Amri, Budiawan Hendratno, Budi Wahyono, dan sang pemain andalan, Ribut Waidi serta dibesut pelatih Sartono Anwar.
Ribut mengawali karier sebagai pesepak bola bersama PS Sukun Kudus pada 1976 hingga 1980. Setelah itu, pemain yang bermain sebagai gelandang (atau sayap kanan) ini melanjutkan petualangannya bersama Persiku Kudus (1980), PS Kuda Laut Pertamina Semarang (1981-1984), dan PSIS Semarang (1984-1992).
Setelah mengantarkan Mahesa Jenar menjadi juara, ia dipanggil PSSI untuk membela tim nasional di SEA Games 1987 Jakarta. Julukan sebagai salah satu legenda sepak bola Indonesia tidak terlalu berlebihan untuk diberikan kepada Ribut Waidi. Betapa tidak, dialah pencetak satu-satunya gol penentu kemenangan Indonesia atas Malaysia pada SEA Games 1987.
Untuk pertama kalinya tim nasional meraih medali emas cabang sepak bola sejak pertama ikut SEA Games pada 1977. Setelah itu, tim nasional kembali meraih medali emas di SEA Games Manila 1991.
Sejak saat itu, Ribut selalu dipanggil ke tim nasional. Sepanjang 1986-1990, pemain yang selalu memakai nomor punggung 10 ini membela tim nasional ke Piala Kemerdekaan, kualifikasi Piala Asia, serta Pra-Piala Dunia. Ribut Waidi meninggal pada 3 Juni 2012 di usia 50 tahun. Dan kini patungnya ketika menggiring bola masih kokoh di Jatingaleh.
Keberadaan patung Ribut Waidi tersebut kini juga sedang dipertanyakan masyarakat terkait proses pembangunan underpass Jatingaleh. Apakah patung monumen tersebut dihilangkan atau dipindah ke lokasi lain?
Menurut Kepala Dinas Penataan Ruang Kota Semarang Agus Riyanto, letak patung Ribut Waidi tersebut akan dikaji karena letaknya akan mengganggu jalan di proyek Underpass Jatingaleh.
''Nantinya akan digeser lebih ke tepi jalan, dengan begitu lalu lintas tidak akan terganggu. Pastinya, patung tersebut harus tetap ada. Sosok Ribut Waidi sudah menjadi salah satu simbol sepak bola di Kota Semarang,'' jelas Agus.
Patung setinggi sekitar 10 meter itu juga pernah roboh karena ditindih baliho yang ambruk akibat hempasan angin kencang pada 2012 dan dibangun kembali pada Mei 2013. Patung yang dibangun oleh Pemerintah Kota Semarang pada 2003 tersebut untuk mengingat jasa serta pengabdian Ribut kepada bangsa dan negara serta Kota Semarang.
Mantan pelatih PSIS Sartono Anwar yang ketika itu menangani Ribut Waidi dan kawan-kawan, mengungkapkan, pemain kelahiran Trangkil 5 Desember 1962 memang memiliki  bakat yang luar biasa. Kecepatannya dalam menggiring bola sulit dibendung oleh lawan-lawannya.
''Improvisasi Ribut Waidi di lapangan juga sangat bagus, banyak membuat peluang terciptanya gol. Oleh sesama pemain, sering dibiarkan  saja ketika dia sedang menguasai bola, sebab pasti nanti dia tahu apa yang terbaik bagi timnya,'' ujar Sartono.
Dari pantauan saya, dibawah patung pun tidak ada prasasti atau keterangan yang menunjukkan siapa. Oleh karena itu, tidak sedikit warga yang ketika ditanya mengaku tidak tahu, patung yang menghadap ke bukit Gombel berwarna hitam legam itu.
''Kalau generasi 70-80-an ya tahu, kalau itu patung Ribut Waidi. Kalau anak-anak sekarang, tahunya hanya patung pesepakbola saja, karena berdiri di akses utama ke stadion Jatidiri,'' ujar Sumarno (58) warga Jalan Karangrejo Raya, kemarin. (KS)