Reservoir Siranda, Dr Kariyadi Jadi Korban

TIDAKLAH banyak generasi muda sekarang yang memahami sejarah tentang pertempuran lima hari di Semarang. Peristiwa heroik yang menewaskan banyak warga Kota Semarang itu kini tinggal kenangan. Saksi bisu pertempuran itu pun kini masih terawat dengan baik. Diantaranya, Lawangsewu dan Reservoir Siranda. Bahkan, untuk mengenangnya, dibangun sebuah tugu setinggi 53 meter yang dikenal dengan nama Tugu Muda.
''Kalau cerita rinci, saya tidak tahu. Yang saya tahu, dulu ada pertempuran selama lima hari di Semarang. Dan untuk mengenangnya, dibangun Tugu Muda. Itu saja, '' kata Abdul Malik maupun Tirtasari, alumni sebuah perguruan tinggi negeri Semarang yang juga warga kelahiran Kota Semarang saat ditanya tentang sejarah pertempuran lima hari di Semarang.
''Kalau Reservoir Siranda, setahu saya, bak penampungan air untuk PDAM Kota Semarang,'' kata Faisal, siswa sekolah menengah atas swasta di Kota Semarang.
Kisah pertempuran lima hari di Semarang sendiri dapat ditemukan dari berbagai sumber. Mulai dari buku sejarah Semarang maupun buku-buku yang terbit paska Proklamasi Kemerdekaan RI.
Dari beberapa sumber yang dirangkum menyebutkan, pertempuran lima hari di Semarang terjadi saat tentara Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 dan menyusul diproklamasikannya Republik Indonesia 17 Agustus 1945, seharusnya selesailah kekuasaan Jepang di Indonesia.
Akan tetapi, kerusuhan justru terjadi di Semarang, Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Pada 13 Oktober 1945, tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh menolak penyerahan senjata sehingga terjadi ketegangan antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang, termasuk Mayor Kido sang komandan yang pada 14 Oktober 1945 tidak memberikan persetujuannya meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro bahwa senjata tersebut tidak digunakan untuk melawan Jepang.
''Para pemuda pun marah dan curiga karena saat itu Sekutu juga akan mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Para pemuda khawatir senjata-senjata itu akan diserahkan kepada Sekutu sehingga mereka harus bisa memperoleh senjata sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Sebab, diperkirakan Sekutu akan diboncengi Belanda yang tujuannya akan menjajah Indonesia lagi,'' kata salahsatu pelaku pertempuran lima hari, R Haryanto.
Pada malam 15 Oktober 1945 keadaan Kota Semarang sangat mencekam. Para pemuda di kampung-kampung yang menjadi basis BKR, tampak siap. Selain BKR, mereka terdiri atas gabungan Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), dan beberapa organisasi pemuda.
Kecuali Polisi dan ex-PETA atau Heiho, yang belum memiliki pengalaman bertempur. Padahal, saat itu pasukan Jepang mendapat tambahan pasukan tempur dari Irian Jaya yang dalam perjalanan ke Jakarta, kehabisan logistik dan mendarat di Semarang. Pertempuran antara Jepang dan para pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (30 km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh.
''Suasana kota Semarang menjadi panas dan terdengar kabar bahwa pasukan Kidobutai akan mengadakan serangan balasan terhadap pemuda Semarang. Pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti senjata delapan Polisi Istimewa yang sedang menjaga sumber air minum bagi warga kota Semarang.
Kedelapan polisi itu dibawa dan disiksa ke markas Kidobutai di Jatingaleh, seiring dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat bahwa reservoir (cadangan air minum) Siranda di Candi Lama akan diracuni oleh tentara Jepang,'' paparnya.
Dokter Karyadi yang menjabat sebagai Kepala Laboratorium Purusara langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya. Meskipun sang istri, drg Soenarti, telah mencegahnya untuk pergi karena suasana yang sangat membahayakan. Tetapi dia berpendapat lain.
Dia harus menyelidiki desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Dan, kenyataannya dia tidak pernah sampai ke tujuan, jenazahnya ditemukan di jalan Pandanaran. Berita gugurnya dr Karyadi menyulut kemarahan warga Semarang. Terjadilah pertempuran yang meluas ke berbagai penjuru kota. Korban pun berjatuhan dimana-mana. (KS)

Comments