Kampung ini nyaris tidak terlihat dari Jalan Pekojan dengan aktifitas bongkar muat barang yang padat. Apalagi, sebelum dibangun gapura yang dilengkapi tulisan nama kampung, Kampung Petemesan yang ada di wilayah Kelurahan Purwodinatan ini dianggap bukan kampung, tetapi kawasan pergudangan.
SUARA peluit dari tukang parkir berkali-kali terdengar di Jalan Pekojan yang menghubungkan Jalan Agus Salim dan Jalan Gang Pinggir Kawasan Pecinan. Arus lalu lintas pun tersendat. Mobil barang yang terparkir di jalan itu terlihat penuh. Para kuli panggul pun terlihat hilir mudik menyeberang jalan untuk melakukan pekerjaan bongkar dan muat barang dari atas mobil ke pertokoan dan gudang.
Di sela-sela pertokoan dan pergudangan, nampak sebuah gapura kecil dengan tulisan di atasnya berwarna merah berani, Kampung Petemesan. Tetapi, dimana letak pemukimannya?
Ketika memasuki gapura, kanan kiri jalan nampak tembok tinggi bangunan gudang dan toko. Beberapa meter di depannya, nampak aktifitas yang sama, bongkar muat barang berupa kaca dan minuman.
Nuansa pemukiman warga baru terasa setelah saya melangkahkan kaki lebih ke dalam. Di sebuah tembok gudang kaca nampak lukisan seorang lelaki bernama Sugeng Sutrisno dilengkapi sebuah tulisan "Semoga Kampung Maju dalam Hal Sosial". Tidak jauh dari itu, juga terlihat Peta Kampung Petemesan yang dilukis di tembok gudang minuman disertai pesan-pesan moral. Diantaranya "Bertuturlah Santun kepada yang Lebih Tua", "Hargai dan Laksanakan Kewajiban sesuai Agama masing-masing", "Gunakanlah Handphone di Waktu yang Tepat", "Budayakan Senyum, Sapa, Salam", "Jangan Lupa Belajar 2 Jam", dan "Berpikirlah Sebelum Bertindak".
''Dulu, warga disini merupakan pekerja di sepanjang Jalan Pekojan. Seiring waktu berjalan, warga pun mulai mandiri dengan menjadi perajin kaca cermin dan kaca hias,'' tutur sesepuh Kampung Petemesan, Agus Santosa (75).
Selain menjadi perajin kaca, warga juga membuat tempat lilin dari alumunium yang sampai hari ini hanya tinggal sebagian warga yang melanjutkan profesinya. Pasalnya, diantara para perajin ada yang beralih profesi dan sudah uzur.
Ketua RT 3 RW 4 Kampung Petemesan, Sugeng Sutrisno juga menceritakan, kampung yang dihuni 55 kepala keluarga (KK) itu pun sejak dahulu dihuni tiga etnis yang berbeda, Tionghoa, Koja dan Jawa dan mereka hidup secara berdampingan tanpa ada batas lagi.
''Meski kampung kecil, kerukunan dan persaudaraan bersama-sama kita junjung tinggi. Apapun etnisnya, apapun pekerjaanya kita semua berbaur menjadi satu. Tidak ada perbedaan sama sekali. Ketika kerja bakti, semuanya turun,'' ujar Sugeng.
Sugeng juga menjelaskan, kampung yang berada di tengah kepungan pertokoan dan pergudangan itu dahulu, oleh Pemerintah Kota Semarang dinyatakan sebagai salah satu kampung bebas banjir. Akan tetapi, sejak Jalan Agus Salim ditinggikan sekitar 50-60 sentimeter, kampung yang dihuni 55 kepala keluarga itu kini sering diterjang banjir.
Pasalnya, aliran air yang biasanya langsung terbuang ke saluran Bubakan justru meluber ke kampung itu. Proyek gorong-gorong yang dilakukan pemerintah pun dinilai oleh warga tidak membuat kawasan Bubakan menjadi bebas banjir, karena gorong-gorong justru menjadi lebih kecil.
''Kampung Petemesan ini dulu dikenal sebagai kampung bebas banjir. Tapi sekarang ketika hujan deras, langsung banjir. Saluran air yang seharusnya masuk ke saluran Bubakan kembali lagi dan merendam beberapa rumah disini,'' jelasnya.
Ketika saya menyusuri kampung itu, nampak berdiri dua MCK umum yang dimanfaatkan warga secara bersama-sama. Akan tetapi, saluran pembuangan air terlihat tidak mengalir. Bahkan, ketika hujan turun kemarin sore, saluran air pun di beberapa titik pun meluber ke jalan berpaving. (KS)
Di sela-sela pertokoan dan pergudangan, nampak sebuah gapura kecil dengan tulisan di atasnya berwarna merah berani, Kampung Petemesan. Tetapi, dimana letak pemukimannya?
Ketika memasuki gapura, kanan kiri jalan nampak tembok tinggi bangunan gudang dan toko. Beberapa meter di depannya, nampak aktifitas yang sama, bongkar muat barang berupa kaca dan minuman.
Nuansa pemukiman warga baru terasa setelah saya melangkahkan kaki lebih ke dalam. Di sebuah tembok gudang kaca nampak lukisan seorang lelaki bernama Sugeng Sutrisno dilengkapi sebuah tulisan "Semoga Kampung Maju dalam Hal Sosial". Tidak jauh dari itu, juga terlihat Peta Kampung Petemesan yang dilukis di tembok gudang minuman disertai pesan-pesan moral. Diantaranya "Bertuturlah Santun kepada yang Lebih Tua", "Hargai dan Laksanakan Kewajiban sesuai Agama masing-masing", "Gunakanlah Handphone di Waktu yang Tepat", "Budayakan Senyum, Sapa, Salam", "Jangan Lupa Belajar 2 Jam", dan "Berpikirlah Sebelum Bertindak".
''Dulu, warga disini merupakan pekerja di sepanjang Jalan Pekojan. Seiring waktu berjalan, warga pun mulai mandiri dengan menjadi perajin kaca cermin dan kaca hias,'' tutur sesepuh Kampung Petemesan, Agus Santosa (75).
Selain menjadi perajin kaca, warga juga membuat tempat lilin dari alumunium yang sampai hari ini hanya tinggal sebagian warga yang melanjutkan profesinya. Pasalnya, diantara para perajin ada yang beralih profesi dan sudah uzur.
Ketua RT 3 RW 4 Kampung Petemesan, Sugeng Sutrisno juga menceritakan, kampung yang dihuni 55 kepala keluarga (KK) itu pun sejak dahulu dihuni tiga etnis yang berbeda, Tionghoa, Koja dan Jawa dan mereka hidup secara berdampingan tanpa ada batas lagi.
''Meski kampung kecil, kerukunan dan persaudaraan bersama-sama kita junjung tinggi. Apapun etnisnya, apapun pekerjaanya kita semua berbaur menjadi satu. Tidak ada perbedaan sama sekali. Ketika kerja bakti, semuanya turun,'' ujar Sugeng.
Sugeng juga menjelaskan, kampung yang berada di tengah kepungan pertokoan dan pergudangan itu dahulu, oleh Pemerintah Kota Semarang dinyatakan sebagai salah satu kampung bebas banjir. Akan tetapi, sejak Jalan Agus Salim ditinggikan sekitar 50-60 sentimeter, kampung yang dihuni 55 kepala keluarga itu kini sering diterjang banjir.
Pasalnya, aliran air yang biasanya langsung terbuang ke saluran Bubakan justru meluber ke kampung itu. Proyek gorong-gorong yang dilakukan pemerintah pun dinilai oleh warga tidak membuat kawasan Bubakan menjadi bebas banjir, karena gorong-gorong justru menjadi lebih kecil.
''Kampung Petemesan ini dulu dikenal sebagai kampung bebas banjir. Tapi sekarang ketika hujan deras, langsung banjir. Saluran air yang seharusnya masuk ke saluran Bubakan kembali lagi dan merendam beberapa rumah disini,'' jelasnya.
Ketika saya menyusuri kampung itu, nampak berdiri dua MCK umum yang dimanfaatkan warga secara bersama-sama. Akan tetapi, saluran pembuangan air terlihat tidak mengalir. Bahkan, ketika hujan turun kemarin sore, saluran air pun di beberapa titik pun meluber ke jalan berpaving. (KS)
Comments
Post a Comment