Perjalanan "Ngartun" Jitet Koestana

Sekolah STM tidak ia selesaikan, karena sering terlibat tawuran. Tapi, lelaki ini memilih jalan lain, menjadi kartunis dan belajar dari buku bekas yang dibaca di Pasa Johar. Inilah perjalanan Jitet Koestana, kartunis senior Kota Semarang.

MENGENAKAN kaus berwarna putih dan celana pendek, Jitet Koestana menyambut saya di rumahnya, Jalan Candi Penataran Utara No 12 Kalipancur, Ngaliyan. Jitet, demikian sapaan akrabnya, menyuguhkan teh hangat dan dua piring berisi gorengan untuk menemani perbincangan di ruang tamu malam itu. Rekannya, Anton Krisdianto ikut bergabung.
Di ruang tamu, lelaki kelahiran Semarang 4 Januari 1967 itu memajang beberapa karyanya. Lukisan tank yang ditumbuhi lumut hijau berada di sisi kiri. Sementara lukisan seorang politisi dengan tangan terikat dipajang di dinding, tepat menghadap pintu. Jitet juga memajang karya-karyanya di sejumlah sudut rumahnya.
Tak hanya itu, koleksi buku dan katalog kartun miliknya juga ia pajang di rak yang ditata di ruang tamu. Ada ratusan katalog kartun yang ia koleksi. Jitet biasanya dengan senang hati akan meminjamkan buku koleksinya kepada siapapun yang tertarik belajar kartun. Tidak heran jika ia memiliki koleksi sebanyak itu. Sebab, sudah puluhan tahun lamanya Jitet istikamah menggeluti seni kartun.
Perjalanan itu bermula ketika Jitet yang masih remaja merasa kehilangan arah. Di sekolah STM, ia sering terlibat tawuran. Lama-lama aktivitas itu membuatnya frustasi. Ia pun memilih keluar dari sekolah.
''Atas inisiatif orangtua, saya dibuatkan warung buku bekas. Ada orang yang jual saya beli dan jual lagi,'' katanya memulai perbincangan.
Dari situlah rupanya, pengembaraan Jitet dimulai. Ia belajar dari buku-buku yang dijumpainya di kios. Mulai dari buku filsafat, teologi dan macam-macam. Asal ia suka, buku itu akan ia dibaca.
Di kios itu pula, Jitet sesekali menggambar. Suatu hari ada teman bernama Bogel, pernah jadi ilustrator di Pos Kota. Bogel mengenalkan Jitet ke Semarang Cartoon Club (Secac).
''Saya dikenalkan dengan Yehana SR. Dia yang pegang Secac saat itu. Saya buat contoh gambar. Kebetulan Yeha senang. Wah apik iki (wah bagus ini),'' ujarnya menirukan.
Gambar Jitet pun langsung ditawarkan ke Gunawan Pranyoto (alm) yang saat itu aktif di Suara Merdeka. Kartun Jitet dimuat, sedangkan kartun Bogel justru tidak. Bagi Jitet, saat itulah titik balik kehidupannya. Jitet juga mulai mengenal siapa itu Prie GS, siapa Edi Vokal, Darminto M Sudarmo, Itos dan tokoh-tokoh kartunis lainnya pada masa itu.
Untuk belajar, Jitet memang sering banyak bertanya. Ia memaklumi, pada saat itu teknologi tak semaju sekarang. Jika ia ingin mengetahui sesuatu, ia pergi ke Johar. Banyak buku bekas dan dari sana ia belajar.
Suatu saat Jitet berjumpa dengan Ramli Badrudin. Jitet pun mulai mengenal Wiki World yang membuka pintu masuk baginya menuju dunia internasional. Ada macam-macam lomba kartun tertera di sampul belakang Wiki World tersebut. Mulai dari Yugoslavia, Bulgaria, Yumiori Simbun dan lainnya. Jitet yang sangat bersemangat saat itu mengirimkan karya ke semua lomba.
''Harapannya, tahun depan saya mendapat undangan dari panitia lomba itu. Saya belajar dari situ. Betul tahun depannya saya diundang,'' katanya.
Sejak itu, Jitet aktif mengikuti kontes kartun internasional. Satu per satu penghargaan tingkat nasional maupun internasional ia raih. Pada 1990 ia meraih penghargaan “Grand Prize” lomba kartun Bola nasional. Pada tahun yang sama ia juga memeroleh penghargaan “Special Prize” International Nasreddin Hodja Cartoon Contest (Turkey).
Tahun ini, Jitet juga menyabet sejumlah penghargaan dalam waktu berdekatan. Yaitu 1st Prize 4th Kalder Bursa International Cartoon Contest 2017 (Turkey), special price The First International Cartoon Festival on Safe & Optimal Consumption of  Natural Gas (Iran) dan 2nd place 19th Portocartoon Festival 2017.
Hingga saat ini, Jitet telah mengoleksi sebanyak 126 penghargaan. Ia juga telah memecahkan rekor MURI dengan penghargaan internasional terbanyak pada 1998. Bagi Jitet, kartunis Indonesia memiliki kesempatan yang sama di kancah internasional. Ia bahkan mengatakan jika Indonesia lebih banyak memiliki bahan. Indonesia dengan kompleksitasnya yang kaya untuk menggali ide kartun.
Lantas, bagaimana Jitet menggali ide saat berkarya? Jitet punya banyak cara untuk menggali ide dalam menggambar kartun. Satu di antara yang sering ia lakukan adalah memutarbalikkan logika. Ia mencontohkan, Syiria pada saat itu seperti apa. Lalu dilukiskan pada saat ini seperti apa.
''Kita membayangkan bahwa saat ini banyak tumbuhan. Karena kepedulian kita semua jadi hijau. Ini juga bisa jadi gagasan. Gampang. Tinggal bolak-balik logika kita. Parodi juga hampir sama,'' jelasnya.
Tak hanya itu, ide membuat kartun juga muncul setelah membaca buku. Bagi Jitet, cara ini sebenarnya hanya mengalihkan pesan dari teks ke dalam bentuk visual. Ia pernah mempraktikkan cara itu yang terinspirasi dari cerita tentang burung.
Selain di kontes, karir Jitet di media juga bagus. Ia pernah mengisi kolom kartun di Jawa Pos, Tabloid Gaya Sehat, menjadi ilustrator Tabloid Senior dan kartunis Harian Kompas. Ia berhenti bekerja di media sejak 2016 lalu dan memilih pulang ke Semarang.
Diakui Jitet, capaian yang ia peroleh saat ini tak lepas dari komunitas yang selama ini menaunginya, Secac. Ia pun merasa punya hutang. Jitet percaya dengan perkataan Bung Karno: beri aku 10 anak muda, akan kuguncang dunia. Ia sudah merancang sejumlah agenda bersama kartunis-kartunis muda Semarang.
''Sekarang saya nomor 1. Alhamdulillah. Astagfirullah. Aku bisa guncang dunia tanpa siapapun. Tapi bersama anak-anak muda akan lebih dahsyat,'' katanya.
Jitet bersama Anton Krisdianto saat ini tengah menyiapkan Art and Cartoon Gallery yang rencananya akan dibuka di Kintelan, Semarang. Galeri ini digadang bisa menjadi wadah bagi kartunis Semarang untuk berkreasi. Selain menjadi ruang untuk pameran, galeri di Kintelan juga akan dipakai untuk sekolah kartun.
''Alangkah baiknya kartunis di Semarang bersatu. Bisa membuat sesuatu untuk masa depan. Bukan untuk saya, tapi untuk semua,'' harapnya.
Jitet mengingatkan, masa depan kartunis adalah dunia digital. Semua memiliki media sendiri yang berada dalam genggaman. Tergantung dimanfaatkan untuk apa.
Anton mengamini kata-kata Jitet. Menurutnya, Kintelan bisa menjadi ruang bersama untuk berekspresi. Seni, kata dia, didasari dari hobi. ''Mas Jitet suka kartun karena hobi. Lebih menyenangkan lagi kalau hobi itu bisa dijalani bersama,'' ujar Anton. (KS

Comments