infodarianda.com |
DAUN-daun kering yang nyaris menutup seluruh jalan beraspal menuju puncak Gunung Talang mengeluarkan suara khas ketika terinjak kaki. Angin yang berhembus di sela-sela batang dan rating pohon pun cukup membantu membasuh keringat yang mengalir di dahi maupun punggung.
Sampai di puncak, bangunan berbentuk joglo limasan yang dikelilingi rerimbunan pohon, tak terlihat satu pun orang. Burung yang hinggap di puncak joglo berkicau beriringan dengan bunyi gesekan daun yang tertiup angin menimbulkan irama bak orkestra. Di kejauhan, lantunan adzan Dhuhur bersahutan.
Langkah kaki saya pun terhenti setelah menaiki lima anak tangga. Di dalam bangunan joglo yang dikelilingi tembok setinggi satu meter itu penuh dengan plastik dan bekas kemasan makanan, pecahan botol, koran, pecahan genting, kayu dan rumput liar maupun akar yang tumbuh subur.
Papan kayu yang membungkus 12 soko yang dibuat dari cor semen bertulang besi di bagian tengah hampir seluruhnya mengelupas. Atap di sudut timur bagian utara dan selatan juga sudah roboh. Ranting dan dahan pohon yang tumbuh di sekeliling bangunan pun sebagian masuk ke bagian dalam joglo.
Selain 12 soko besar di bagian tengan, bangunan berukuran luas 25 meter x 25 meter itu juga disokong 28 soko di bagian tepi. Tidak seperti joglo pada umunya. Jika ruang tengah joglo umumnya rata dengan pintu utama, ruang tengah berukuran 16 meter x 12 meter pendopo ini justru lebih rendah dan membentuk seperti kolam renang sedalam satu meter. Di sisi utara bangunan, juga terdapat bangunan bekas kamar mandi yang tak ada lagi atapnya.
Sesepuh warga Kelurahan Bendan Duwur, Kecamatan Gajahmungkur, Kukuh (66) menuturkan, bangunan berbentuk joglo limasan itu sebelumnya berada di Kanjengan dan menjadi bagian dari bangunan pemerintah Kabupaten Semarang.
''Sekitar 1974, pendapa itu dipindah dari Kanjengan ke Gunung Talang. Bangunan keseluruhannya pun dari kayu jati. Kalau sekarang soko gurunya dari cor beton itu karena sekitar 1978 bangunan asli roboh diterjang angin kencang. Kemudian dibangun lagi dan menjadi padepokan untuk berlatih dan bertanding pencak silat,'' tuturnya.
Bapak empat anak dan tiga cucu itu juga menceritakan, proses pembangunan kembali pendopo pun beberapa bangunan yang tersisa dilelang. Salahsatunya ubin bermotif bunga yang ia beli dan terpasang di ruang tamu kediamannya. Jumlah soko guru bagian tengah pun dahulu hanya empat, bukan 12 seperti sekarang ini.
Ditemui terpisah, Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Kelurahan Bendan Duwur, Sudarsono menambahkan, kawasan Gunung Talang sempat dikelola Dinas Kebesihan dan Pertamanan Kota Semarang dan hendak dibangun jogging track, parkir pengunjung, gardu pandang, mushala dan kafe kecil.
''Tapi, setelah ada perubahan organisasi perangkat daerah (OPD), detail engineering design (DED) yang dulu sudah jadi, belum direalisasi dan tidak ada lagi petugas yang merawat kawasan itu,'' ujarnya.
Meski sudah tidak lagi dimanfaatkan untuk latihan maupun pertandingan pencak silat, tidak serta merta pendapa itu sepi. Beberapa pegiat dunia mistis sering memanfaatkan tempat itu untuk uji nyali. Beberapa satwa liar masih sesekali terlihat, seperti elang jawa dan kera ekor panjang (macaca fascicularis) maupun tanaman langka yang tumbuh pada musim tertentu juga nampak. (KS)
sayang sekali kalau tidak terurus yah
ReplyDeleteharga komatsu pc200