Pedagang "Sesaji" di Pasar Peterongan

Upacara adat Jawa, atau kegiatan ritual, gelar sesaji, bagi sebagian warga Kota Semarang sudah mulai ditinggalkan. Alhasil, penjual piranti untuk keperluannya pun kini hanya ada di Pasar Peterongan, Randusari dan Jalan Bugangan. Bagaimana nasib mereka kini?

BAU bunga melati dan mawar cukup menusuk hidung, ketika saya memasuki kios milik Supariyem (63) di komplek Pasar Peterongan di Jalan Lampersari, yang juga berjualan kendi, empluk (tempat sesaji), kemenyan, serta keperluan ritual adat Jawa lainnya.
Menurut ibu empat anak dan 10 cucu asal Dusun Pandan Simpi, Desa Geneng, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten itu, pedagang seperti dirinya di Pasar Peterongan tinggal empat orang, Partini (40), Wiji (60) dan Susilowati (41). Sebelumnya, jumlah pedagang keperluan upacara adat Jawa lebih dari 10 orang. Selain di Pasar Peterongan, pedagang keperluan upacara adat Jawa juga dapat ditemui di Jalan Bugangan Raya dan Pasar Randusari Jalan Kyai Saleh.
''Jamannya sudah berubah. Orangtua sekarang tidak mengenalkan kepada generasi tentang "nguri-uri" budaya Jawa. Bahkan, mengajak ke makam leluhurnya saja tidak pernah. Apalagi, budaya "merawat" pusaka peninggalan nenek moyangnya,'' kata Supariyem.
Dari alasan itulah, penjualan keperluan upacara adat Jawa menjadi semakin menurun. Meski begitu, Supariyem yang berjualan sejak 1965 itu tetap menyediakan kebutuhan ritual seperti bunga mawar, melati, kenanga, kantil, cendana, kemenyan madu, kemenyan hitam, kendil, empluk, padupan, minyak melati, minyak kantil, minyak misik, dupa beragam merek dan warangan untuk membersihkan pusaka.
''Masih ada warga Kota Semarang yang melakukan ritual-ritual seperti ziarah ke makam Ki Ageng Pandanaran, Mbah Soleh Darat, para leluhur, ruwatan, siraman manten, maupun mencuci pusaka. Ada pula yang membeli sesaji untuk mencari nomor togel. Tetapi, paling ramai para pembeli hanya pada bulan Suro dan malam Jumat Kliwon, '' jelasnya.
Hal senada juga diakui penjual keperluan adat Jawa, Gemi Rahayu (40), di Jalan Bugangan Raya. Menurut dia, sudah menjadi kegiatan rutin/ritual masyarakat Jawa pada hari-hari atau bulan tertentu dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melakukan tirakat dan menggelar upacara.
''Biasanya, mereka berharap kesuksesan, kelancaran dalam menjalankan aktifitas, mendoakan leluhur, tidak sedikit warga yang mengharapkan jabatan atau harta melalui ritual yang dilakukan,'' ujarnya.
Bagi Hermani (53) dan Nining Kosidah (36) pedagang bunga di Pasar Randusari, juga menyampaikan hal yang senada. Akan tetapi, di pasar yang dirancang oleh Thomas Karsten, konsumen lebih banyak membeli kalung dari melati. Baik untuk hiasan keranda, pengantin maupun upacara umat Budha. Lapaknya berjualan pun tak pernah tutup, alias buka 24 jam. Ia berjualan dengan kerabatnya secara bergantian.
Ya, bagi orang Jawa, upacara tradisi, ritual selamatan ataupun gelar sajen (sesaji) adalah peristiwa yang sudah diakrabi sejak lahir. Akan tetapi, saat ini sudah mulai ditinggalkan orang. Salah satunya adalah transfer pewarisan prosesi ritual tidak diikuti dengan penjelasan maksud, tujuan serta simbol-simbol yang terkandung di dalamnya.
Akibatnya, generasi sekarang menganggap prosesi ritual menjadi semacam acara yang tidak memiliki makna apa-apa bahkan terkesan ribet alias merepotkan. Padahal jika dicermati, budaya peninggalan nenek moyang yang adiluhung itu merupakan modal sosial dan memiliki nilai yang besar bagi terciptanya kebersamaan, gotong-royong, guyub rukun dan saling menghargai sesama orang. Wallahu A'lam. (KS)

Comments