WAJAH keriput Sudarmi berseri-seri. Sambil mengucap hamdalah, perempuan yang mengaku berumur hampir 100 tahun itu memasukkan uang Rp 10 ribu ke dalam tas kain yang ia gantungkan di lehernya.
Baru saja, seorang lelaki membeli bensin satu liter dengan harga Rp 8 ribu. Lelaki itu memberikan uang lembaran Rp 10 ribu. Ketika Sudarmi hendak memberikan kembalian Rp 2 ribu, lelaki itu menolaknya.
''Untuk tambahan jajan simbah,'' katanya.
Belum sempat duduk kembali, dua perempuan mengendarai sepeda motor matik berboncengan berhenti tepat di depan kiosnya. Ia menghampiri Sudarmi. Sambil menyalami, perempuan itu menyerahkan lembaran uang kertas.
''Mbah, minta doanya, anak saya hamil. Ada rejeki untuk Mbah,'' ujarnya.
''Ya Allah Nak, terimakasih. Semoga diberikan kesehatan, dimudahkan rejekinya,'' jawab Sudarmi.
Itulah pemandangan disela-sela Sudarmi atau yang akrab disapa Mbah Darmi berbincang dengan saya. Nama Mbah Darmi sempat menjadi viral di sosial media. Bahkan, kisah uniknya menarik perhatian televisi swasta nasional untuk meliputnya.
Ibu lima anak dan 10 cucu yang lahir di sebuah kampung di tepi sungai Bengawan Solo, Serenan, Juwiring, Klaten itu sampai saat ini masih meneruskan usaha almarhum suaminya, Suhadi yang meninggal tiga tahun lalu, menjadi tukang tambal ban dan berjualan bahan bakar minyak (BBM) eceran.
Bermodal surat keterangan dari Bayan, ia berjalan kaki ke Semarang pada 1957 untuk mengadu nasib. Karena, paska dinikahkan oleh orangtuanya kala itu, ia merasa aneh. Meski sudah dinikahkan, hidup sehari-hari tetap bersama orangtua masing-masing.
Sampai di Semarang, ia pun tinggal di Karangsari Gang III No 16 sampai kemudian bertemu dengan Suhadi asal Purwodadi yang bekerja sebagai tukang becak dan menikah hingga dikaruniai lima anak. Suhadi pun tidak hanya menjadi tukang becak, ia membuka usaha tambal ban dan berjualan BBM.
''Usaha ini sudah sejak lama, ketika Jalan Mataram masih dilintasi trem. Kendaraan pun saat itu masih bemo yang ada. Dulu, usai ban ditambal, isi anginnya masih pakai pompa manual, sekarang sudah pakai kompresor,'' ujarnya.
Suhadi pun meninggal. Tapi, semangat Mbah Darmi tetap ada. Per hari, ia mampu menambal ban hingga lima unit motor. Ketika kompresor tidak bisa dihidupkan, ia pun meminta bantuan tenaga keamanan di toko yang ada di seberang lapaknya.
Mbah Darmi mengaku, sering diberi uang oleh warga yang melintas, meski tidak menggunakan jasa atau membeli BBM. Baginya, uang itu halal, karena ia tidak menengadahkan tangan di tepi jalan.
Mbah Darmi mulai membuka lapak tambal ban dan BBM mulai pukul 06.00 hingga pukul 16.00. Akan tetapi, jika dhuhur mulai hujan, ia memilih untuk pulang. Karena, bagi dia, rejeki sudah diatur oleh Tuhan. Pulang dari lapak pun ia manfaatkan waktunya di masjid.
Sebelum di Jalan Stadion Selatan, lapak tambal bannya menghadap ke Jl MT Haryono. Akan tetapi, karena diancam dibakar ketika jaman PKI, suaminya memutuskan untuk memindah kiosnya yang ditempati hingga kini.
Di lapak berukuran 2 meter x 6 meter itu, beberapa bagian bangunan berbahan kayu dan bambu itu terlihat telah lapuk. Terbagi menjadi dua bagian. Bagian terbuka untuk menambal ban, satu bagian lainnya untuk menyimpan peralatan maupun ban bekas.
Mbah Darmi mengakui, menambal ban bukanlah pekerjaan yang akrab bagi kaum hawa, apalagi untuk perempuan renta seusianya. Kendati usianya lanjut, Darmi merasa tenaganya masih cukup. Tenaganya masih kuat untuk sekadar mengganti atau menambal ban. Namun, untuk pekerjaan yang membutuhkan energi lebih dari itu, Darmi enggan memaksa.
Meski kondisinya memprihatinkan, Darmi mengaku sempat beberapa kali tidak dibayar oleh orang yang telah memakai jasanya. Ia juga beberapa kali mengikhlaskan bensin dagangannya untuk orang yang kehabisan bahan bakar. (KS)
Baru saja, seorang lelaki membeli bensin satu liter dengan harga Rp 8 ribu. Lelaki itu memberikan uang lembaran Rp 10 ribu. Ketika Sudarmi hendak memberikan kembalian Rp 2 ribu, lelaki itu menolaknya.
''Untuk tambahan jajan simbah,'' katanya.
Belum sempat duduk kembali, dua perempuan mengendarai sepeda motor matik berboncengan berhenti tepat di depan kiosnya. Ia menghampiri Sudarmi. Sambil menyalami, perempuan itu menyerahkan lembaran uang kertas.
''Mbah, minta doanya, anak saya hamil. Ada rejeki untuk Mbah,'' ujarnya.
''Ya Allah Nak, terimakasih. Semoga diberikan kesehatan, dimudahkan rejekinya,'' jawab Sudarmi.
Itulah pemandangan disela-sela Sudarmi atau yang akrab disapa Mbah Darmi berbincang dengan saya. Nama Mbah Darmi sempat menjadi viral di sosial media. Bahkan, kisah uniknya menarik perhatian televisi swasta nasional untuk meliputnya.
Ibu lima anak dan 10 cucu yang lahir di sebuah kampung di tepi sungai Bengawan Solo, Serenan, Juwiring, Klaten itu sampai saat ini masih meneruskan usaha almarhum suaminya, Suhadi yang meninggal tiga tahun lalu, menjadi tukang tambal ban dan berjualan bahan bakar minyak (BBM) eceran.
Bermodal surat keterangan dari Bayan, ia berjalan kaki ke Semarang pada 1957 untuk mengadu nasib. Karena, paska dinikahkan oleh orangtuanya kala itu, ia merasa aneh. Meski sudah dinikahkan, hidup sehari-hari tetap bersama orangtua masing-masing.
Sampai di Semarang, ia pun tinggal di Karangsari Gang III No 16 sampai kemudian bertemu dengan Suhadi asal Purwodadi yang bekerja sebagai tukang becak dan menikah hingga dikaruniai lima anak. Suhadi pun tidak hanya menjadi tukang becak, ia membuka usaha tambal ban dan berjualan BBM.
''Usaha ini sudah sejak lama, ketika Jalan Mataram masih dilintasi trem. Kendaraan pun saat itu masih bemo yang ada. Dulu, usai ban ditambal, isi anginnya masih pakai pompa manual, sekarang sudah pakai kompresor,'' ujarnya.
Suhadi pun meninggal. Tapi, semangat Mbah Darmi tetap ada. Per hari, ia mampu menambal ban hingga lima unit motor. Ketika kompresor tidak bisa dihidupkan, ia pun meminta bantuan tenaga keamanan di toko yang ada di seberang lapaknya.
Mbah Darmi mengaku, sering diberi uang oleh warga yang melintas, meski tidak menggunakan jasa atau membeli BBM. Baginya, uang itu halal, karena ia tidak menengadahkan tangan di tepi jalan.
Mbah Darmi mulai membuka lapak tambal ban dan BBM mulai pukul 06.00 hingga pukul 16.00. Akan tetapi, jika dhuhur mulai hujan, ia memilih untuk pulang. Karena, bagi dia, rejeki sudah diatur oleh Tuhan. Pulang dari lapak pun ia manfaatkan waktunya di masjid.
Sebelum di Jalan Stadion Selatan, lapak tambal bannya menghadap ke Jl MT Haryono. Akan tetapi, karena diancam dibakar ketika jaman PKI, suaminya memutuskan untuk memindah kiosnya yang ditempati hingga kini.
Di lapak berukuran 2 meter x 6 meter itu, beberapa bagian bangunan berbahan kayu dan bambu itu terlihat telah lapuk. Terbagi menjadi dua bagian. Bagian terbuka untuk menambal ban, satu bagian lainnya untuk menyimpan peralatan maupun ban bekas.
Mbah Darmi mengakui, menambal ban bukanlah pekerjaan yang akrab bagi kaum hawa, apalagi untuk perempuan renta seusianya. Kendati usianya lanjut, Darmi merasa tenaganya masih cukup. Tenaganya masih kuat untuk sekadar mengganti atau menambal ban. Namun, untuk pekerjaan yang membutuhkan energi lebih dari itu, Darmi enggan memaksa.
Meski kondisinya memprihatinkan, Darmi mengaku sempat beberapa kali tidak dibayar oleh orang yang telah memakai jasanya. Ia juga beberapa kali mengikhlaskan bensin dagangannya untuk orang yang kehabisan bahan bakar. (KS)
Comments
Post a Comment