Tidak sedikit pengusaha yang sukses dengan mengawali usahanya dari sekadar hobi. Ini karena mereka mencintai pekerjaannya dan bersemangat untuk terus belajar menyempurnakan kemampuannya. Itulah yang menjadi keinginan beberapa warga di Kampung Lemah Gempal, Kelurahan Barusari, Kecamatan Semarang Selatan. Dari sekedar hobi bermain layang-layang, mereka berupaya membuat permainan tradisional itu menjadi sebuah usaha bersama. Bahkan, layang-layang buatan warga itu telah terbang hingga Kalimantan.
LAYANG-layang sudah lama dikenal sebagai permainan tradisional anak-anak di seluruh Indonesia. Mainan yang dibuat dengan bahan dasar kertas, potongan bambu kecil, dan lem itu, untuk memainkannya cukup menerbangkan ke angkasa dengan segulung benang yang bisa ditarik-ulur. Di angkasa layang-layang diadu. Siapa yang terlebih dulu memutuskan benang lawan, dialah pemenangnya.
Layang-layang terbang ke angkasa berkat gaya-gaya aerodinamika dari gerakan relatifnya terhadap angin. Angin relatif itu ditimbulkan oleh aliran udara alamiah atau tarikan layang-layang lewat benang penghubung. Karena populernya, bentuk layang-layang menjadi salah satu bagian dari bangun datar ilmu matematika.
Layang-layang sering dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran. Yang umum dikenal memiliki panjang diagonal 20 cm – 40 cm. Namun dalam perkembangannya, bentuk layang-layang tidak selalu segiempat.
Sejak 1970-an, bentuk layang-layang selalu dimodifikasi para seniman. Ukurannya pun tidak lagi kecil tetapi sangat besar, yakni dalam bilangan meter. Bahkan tidak jarang dibuat dalam bentuk tiga dimensi sehingga harus dimainkan oleh beberapa orang sekaligus menggunakan tali tambang sebagai pengganti benang.
Entah sejak kapan layang-layang dikenal di Indonesia. Belum ada sumber sejarah yang menyebutnya secara pasti. Dari beberapa sumber menyebutkan, di Jepang, layang-layang mulai dikenal pada zaman Heian (794-1185). Pada masa itu layang-layang sering digunakan sebagai alat komunikasi pembawa pesan rahasia di istana. Karena harus melewati parit-parit besar, maka layang-layang dinilai mampu menjalankan misi itu. Masa keemasan pembuatan layang-layang terjadi pada zaman Edo (1630-1868). Namun karena harga kertas sangat mahal waktu itu, hanya kalangan bangsawan yang mampu menerbangkan layang-layang.
Namun di Indonesia, khususnya di Kota Semarang, untuk menerbangkan layang-layang tidak ada batasan derajat ekonomi, sosial bahkan usia. Kalangan anak-anak maupun dewasa menjadikan permainan layang-layang itu sebagai hobi yang digemari ketika angin sedang berhembus tidak terlalu kencang.
Usaha pembuatan layang-layang di Kampung Lemah Gempal, Kelurahan Barusari, Kecamatan Semarang Selatan yang baru dimulai dua tahun terakhir itupun diawali hanya karena hobi sang pembuatnya.
Mantan sopir truk trailer di sebuah perusahaan jasa pengangkutan barang di Kawasan Terboyo bernama Riyono (57) mengaku, sejak kecil sangat suka bermain layang-layang hingga ia memiliki lima anak dan 13 cucu itu kini.
Ketiadaan alat permainan itu ketika musim angin yang bertiup tidak begitu kencang di Kota Semarang, menginspirasi dirinya untuk mengajak dua tetangganya, Mulyadi Setyo Budi (38) dan Bowo (45) untuk merintis usaha pembuatan layang-layang.
Bermodal semangat, iapun membeli sepotong bambu yang memiliki panjang ruas maksimal 72 sentimeter dengan harga Rp 8.000 - Rp12.000 per batangnya, kertas satu rim dengan ukuran 44 x 69 sentimeter dengan harga Rp 80.000 per rim-nya, lem kayu dengan berat 4 ons Rp 7.000 dan benang. Sedangkan untuk pewarnaan, ia memanfaatkan cat bekas dari percetakan yang ada tidak jauh dari kediamannya.
''Saya membuat layang-layang empat ukuran, yakni 71, 76, 80 dan 84. Ukurannya memang lebih besar dari biasanya. Untuk ukuran 71, kami jual Rp 1.500, ukuran 76 Rp 2.000, ukuran 80 dijual Rp 2.500 dan untuk ukuran 84, dipatok harga Rp 3.000,'' tuturnya, saat ditemui di kediamannya Jl Lemah Gempal VI Nomor 56 RT 6 RW 4 Kelurahan Barusari, Kecamatan Semarang Selatan.
Riyono dan teman-temannya itu mampu memproduksi 50 buah layang-layang beragam ukuran setiap harinya. Keinginan untuk mengembangkan produksinya sangat diidamkan. Pasalnya, pangsa pasar permainan tradisional itu terus meningkat.
''Kami juga sedang melayani pesanan dari Kalimantan. Keinginan kami, ya tentu bisa menguasai pasar di Kota Semarang, karena layang-layang yang ada, baik di Semarang maupun daerah lain, selama ini merupakan produk dari Garut Jawa Barat,'' jelasnya.
Mulyadi Setyo Budi menambahkan, usaha pembuatan layang-layang itu, menurutnya, juga meneruskan usaha yang dirintis oleh almarhum Ali, warga setempat yang dikenal dengan Ali Layangan yang tidak memiliki penerus usahanya.
''Dulu, layang-layang buatan almarhum memiliki kualitas yang bagus. Tidak hanya diminati anak-anak maupun orang dewasa di Kota Semarang. Daerah sekitar seperti Demak, Kendal, dan Ungaran, sering datang kepadanya untuk minta dibuatkan layang-layang,'' katanya.
Dalam pembuatan, kata Budi, hanya memilih model layang-layang yang sederhana. Karena model variasi seperti burung dan pesawat terbang justru selamai ni tidak diterima di kalangan para penghobi permainan tradisional di Kota Semarang.
''Kami bercita-cita, usaha ini terus berkembang. Bantuan modal dari pemerintah maupun pihak manapun, itu yang kami nantikan,'' kata pria lajang itu di sela-sela menyelesaikan pesanan layang-layang dari relasinya di Kalimantan. (KS)
Layang-layang terbang ke angkasa berkat gaya-gaya aerodinamika dari gerakan relatifnya terhadap angin. Angin relatif itu ditimbulkan oleh aliran udara alamiah atau tarikan layang-layang lewat benang penghubung. Karena populernya, bentuk layang-layang menjadi salah satu bagian dari bangun datar ilmu matematika.
Layang-layang sering dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran. Yang umum dikenal memiliki panjang diagonal 20 cm – 40 cm. Namun dalam perkembangannya, bentuk layang-layang tidak selalu segiempat.
Sejak 1970-an, bentuk layang-layang selalu dimodifikasi para seniman. Ukurannya pun tidak lagi kecil tetapi sangat besar, yakni dalam bilangan meter. Bahkan tidak jarang dibuat dalam bentuk tiga dimensi sehingga harus dimainkan oleh beberapa orang sekaligus menggunakan tali tambang sebagai pengganti benang.
Entah sejak kapan layang-layang dikenal di Indonesia. Belum ada sumber sejarah yang menyebutnya secara pasti. Dari beberapa sumber menyebutkan, di Jepang, layang-layang mulai dikenal pada zaman Heian (794-1185). Pada masa itu layang-layang sering digunakan sebagai alat komunikasi pembawa pesan rahasia di istana. Karena harus melewati parit-parit besar, maka layang-layang dinilai mampu menjalankan misi itu. Masa keemasan pembuatan layang-layang terjadi pada zaman Edo (1630-1868). Namun karena harga kertas sangat mahal waktu itu, hanya kalangan bangsawan yang mampu menerbangkan layang-layang.
Namun di Indonesia, khususnya di Kota Semarang, untuk menerbangkan layang-layang tidak ada batasan derajat ekonomi, sosial bahkan usia. Kalangan anak-anak maupun dewasa menjadikan permainan layang-layang itu sebagai hobi yang digemari ketika angin sedang berhembus tidak terlalu kencang.
Usaha pembuatan layang-layang di Kampung Lemah Gempal, Kelurahan Barusari, Kecamatan Semarang Selatan yang baru dimulai dua tahun terakhir itupun diawali hanya karena hobi sang pembuatnya.
Mantan sopir truk trailer di sebuah perusahaan jasa pengangkutan barang di Kawasan Terboyo bernama Riyono (57) mengaku, sejak kecil sangat suka bermain layang-layang hingga ia memiliki lima anak dan 13 cucu itu kini.
Ketiadaan alat permainan itu ketika musim angin yang bertiup tidak begitu kencang di Kota Semarang, menginspirasi dirinya untuk mengajak dua tetangganya, Mulyadi Setyo Budi (38) dan Bowo (45) untuk merintis usaha pembuatan layang-layang.
Bermodal semangat, iapun membeli sepotong bambu yang memiliki panjang ruas maksimal 72 sentimeter dengan harga Rp 8.000 - Rp12.000 per batangnya, kertas satu rim dengan ukuran 44 x 69 sentimeter dengan harga Rp 80.000 per rim-nya, lem kayu dengan berat 4 ons Rp 7.000 dan benang. Sedangkan untuk pewarnaan, ia memanfaatkan cat bekas dari percetakan yang ada tidak jauh dari kediamannya.
''Saya membuat layang-layang empat ukuran, yakni 71, 76, 80 dan 84. Ukurannya memang lebih besar dari biasanya. Untuk ukuran 71, kami jual Rp 1.500, ukuran 76 Rp 2.000, ukuran 80 dijual Rp 2.500 dan untuk ukuran 84, dipatok harga Rp 3.000,'' tuturnya, saat ditemui di kediamannya Jl Lemah Gempal VI Nomor 56 RT 6 RW 4 Kelurahan Barusari, Kecamatan Semarang Selatan.
Riyono dan teman-temannya itu mampu memproduksi 50 buah layang-layang beragam ukuran setiap harinya. Keinginan untuk mengembangkan produksinya sangat diidamkan. Pasalnya, pangsa pasar permainan tradisional itu terus meningkat.
''Kami juga sedang melayani pesanan dari Kalimantan. Keinginan kami, ya tentu bisa menguasai pasar di Kota Semarang, karena layang-layang yang ada, baik di Semarang maupun daerah lain, selama ini merupakan produk dari Garut Jawa Barat,'' jelasnya.
Mulyadi Setyo Budi menambahkan, usaha pembuatan layang-layang itu, menurutnya, juga meneruskan usaha yang dirintis oleh almarhum Ali, warga setempat yang dikenal dengan Ali Layangan yang tidak memiliki penerus usahanya.
''Dulu, layang-layang buatan almarhum memiliki kualitas yang bagus. Tidak hanya diminati anak-anak maupun orang dewasa di Kota Semarang. Daerah sekitar seperti Demak, Kendal, dan Ungaran, sering datang kepadanya untuk minta dibuatkan layang-layang,'' katanya.
Dalam pembuatan, kata Budi, hanya memilih model layang-layang yang sederhana. Karena model variasi seperti burung dan pesawat terbang justru selamai ni tidak diterima di kalangan para penghobi permainan tradisional di Kota Semarang.
''Kami bercita-cita, usaha ini terus berkembang. Bantuan modal dari pemerintah maupun pihak manapun, itu yang kami nantikan,'' kata pria lajang itu di sela-sela menyelesaikan pesanan layang-layang dari relasinya di Kalimantan. (KS)
Comments
Post a Comment