Perempuan keturunan Banjar itu masih ingat betul. Api yang membakar 200 meter persegi lahan pemukiman milik warga itu terjadi dua kali. Rumah kayu bertingkat yang dihuni para pedagang berlian itu kini hampir tak menyisakan sisa. Api yang melalap Kampung Banjar, demikian warga menyebut, itupun kini lebih dikenal dengan nama Kampung Geni (api). Bagaimana kisahnya?
LORONG kampung dengan lebar tidak lebih dari dua meter dengan konstruksi jalan dari paving blok, Rabu (21/9) siang terlihat sepi. Patok besi yang ditanam di mulut gang, menjadi tanda larangan bagi pemilik mobil tidak diperbolehkan masuk ke gang sempit yang hanya cukup untuk berpapasan sepeda motor itu.
Sebuah bangunan kayu bertingkat yang nyaris roboh dan tak berpenghuni itu menjadi saksi bisu besarnya kobaran api yang membakar perkampungan itu pada 1945 dan 1975. Meski Mini Circulate Breaker (MCB) atau alat yang digunakan oleh PLN sebagai pembatas daya pada pelanggan daya listrik rendah masih menempel kuat di dinding kayu jati, bangunan itu sengaja tidak dirobohkan.
''Biarlah menjadi saksi sejarah bahwa kampung Banjar pernah ada di wilayah ini,'' tutur Khotijah (76), warga Jalan Cerbonan Besar, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, saat ditemui di kediamannya.
Sejenak perempuan itu terdiam saat ditanya tentang peristiwa kebakaran yang menimpa sekitar 30-an rumah di kampungnya itu. Setelah menghela nafas berkali-kali, ia pun menuturkan peristiwa yang terjadi sekitar pukul 10.00 Wib pada 1945 itu, titik api berawal dari rumah milik Haji Usman yang ada di Jalan Geni Besar.
''Istrinya, Mak Yati, saat itu sedang memasak, kemungkinan kompornya terbalik. Saya pun saat itu juga sedang memasak. Api membesar dan membakar rumah di sekitarnya. Bahkan rumah bagian belakang saya juga tersambar api karena angin bertiup kencang,'' kisahnya.
Dinding rumah bertingkat dari kayu di sebelah timur itupun juga habis dilalap api. Ia dan keluarganya tidak sempat membawa perralatan rumah tangga untuk diselamatkan. Yang ada dipikirannya hanyalah menyelamatkan diri dengan berlari ke jalan raya.
''Sejak itu, Kampung Banjar ini lebih sering disebut sebagai Kampung Geni. Belum hilang kesedihan yang menimpa, sekitar 1974, kembali terjadi kebakaran di kampung ini,'' ujar istri almarhum Farhan itu.
Ayahnya, almarhum Abdullah yang berprofesi sebagai pedagang berlian saat kebakaran terjadi, kembali memperbaiki rumahnya. Model panggung sebagai ciri khas rumah Banjar tetap dipertahankan khususnya rumah di bagian tengah. Sementara di bagian depan, dirubah menyesuaikan rumah ala Semarangan.
Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Dadapsari Kecamatan Semarang Utara Abdul Aziz mengiyakan, jika nama Kampung Geni yang berada di Jalan Cerbonan Besar, Jalan Cerbonan Kecil, Jalan Geni Besar dan Jalan Geni Kecil itu karena sering terjadi kebakaran.
''Saat kebakaran kedua pada 1975, saya masih kelas 4 SD. Api berasal dari salah satu rumah warga keturunan Arab,'' jelas Azis yang juga warga keturunan Banjar yang kini tinggal di Kampung Purwogondo, Kelurahan Purwosari saat ditemui di kantornya.
Kampung yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga (KK) itu, kata dia, kini tak lagi tinggal di rumah bertingkat. Sejak kebakaran, hampir seluruh warga merombak bangunan menjadi rumah tembok.
Kepala Kelurahan Dadapsari Kardi SSos menjelaskan, tak hanya model rumah yang mengalami perubahan. Budaya keturunan Banjar yang mewajibkan menikah dengan sesama keturunan itupun kini mulai lentur.
''Perubahan budaya, ekonomi dan sosial kini mulai melebur, baik itu keturunan Arab, China, Banjar maupun Jawa. Seolah tidak ada lagi perbedaan. Namun ketika ada upacara pernikahan, alunan musik dari rebana khas Banjar dan rutinitas pembacaan Kitab Maulid masih dilakukan oleh warga keturunan Banjar,'' paparnya.
Terkait perubahan budaya khususnya kewajiban menikah dengan sesama warga keturunan Banjar, Khotijah mengaku, pergeseran itu terjadi seiring dengan kondisi lingkungan dan waktu yang terus berjalan ke arah modern.
''Delapan anak saya, tidak ada satupun yang menikah dengan sesama keturunan Banjar. Anak pertama menikah dengan warga Belanda, yang lainnya menikah dengan warga Jawa,'' kata Khotijah.
Ya, sebagai bagian dari Kampung Melayu, Kampung Geni dari masa ke masa akan terus mengalami perubahan. Kampung Melayu yang awalnya terbagi menjadi 3 kelurahan yaitu, Kelurahan Dadapsari, Melayu Darat dan Banjarsari itu sejalan dengan kemajuan perdagangan di Semarang, baik ekspor maupun impor yang semakin berkembang setiap tahunnya telah membawa perubahan perilaku budaya, sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Dan, toponimik lorong-lorong dikampung Melayu ini merupakan satu bentuk kearifan lokal, bagaimana pemberian nama-nama pada sub kawasan ataupun koridor tersebut sangat erat terkait dengan fenomena kesejarahan yang menjadi sangat unik dan kental dengan nuansa setempat. Namun, akankah nama itu akan terus terjaga atau bahkan kehilangan makna dan aspek historisnya? Tentu para generasi selanjutnyalah yang menjadi penentunya. (KS)
Sebuah bangunan kayu bertingkat yang nyaris roboh dan tak berpenghuni itu menjadi saksi bisu besarnya kobaran api yang membakar perkampungan itu pada 1945 dan 1975. Meski Mini Circulate Breaker (MCB) atau alat yang digunakan oleh PLN sebagai pembatas daya pada pelanggan daya listrik rendah masih menempel kuat di dinding kayu jati, bangunan itu sengaja tidak dirobohkan.
''Biarlah menjadi saksi sejarah bahwa kampung Banjar pernah ada di wilayah ini,'' tutur Khotijah (76), warga Jalan Cerbonan Besar, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, saat ditemui di kediamannya.
Sejenak perempuan itu terdiam saat ditanya tentang peristiwa kebakaran yang menimpa sekitar 30-an rumah di kampungnya itu. Setelah menghela nafas berkali-kali, ia pun menuturkan peristiwa yang terjadi sekitar pukul 10.00 Wib pada 1945 itu, titik api berawal dari rumah milik Haji Usman yang ada di Jalan Geni Besar.
''Istrinya, Mak Yati, saat itu sedang memasak, kemungkinan kompornya terbalik. Saya pun saat itu juga sedang memasak. Api membesar dan membakar rumah di sekitarnya. Bahkan rumah bagian belakang saya juga tersambar api karena angin bertiup kencang,'' kisahnya.
Dinding rumah bertingkat dari kayu di sebelah timur itupun juga habis dilalap api. Ia dan keluarganya tidak sempat membawa perralatan rumah tangga untuk diselamatkan. Yang ada dipikirannya hanyalah menyelamatkan diri dengan berlari ke jalan raya.
''Sejak itu, Kampung Banjar ini lebih sering disebut sebagai Kampung Geni. Belum hilang kesedihan yang menimpa, sekitar 1974, kembali terjadi kebakaran di kampung ini,'' ujar istri almarhum Farhan itu.
Ayahnya, almarhum Abdullah yang berprofesi sebagai pedagang berlian saat kebakaran terjadi, kembali memperbaiki rumahnya. Model panggung sebagai ciri khas rumah Banjar tetap dipertahankan khususnya rumah di bagian tengah. Sementara di bagian depan, dirubah menyesuaikan rumah ala Semarangan.
Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Dadapsari Kecamatan Semarang Utara Abdul Aziz mengiyakan, jika nama Kampung Geni yang berada di Jalan Cerbonan Besar, Jalan Cerbonan Kecil, Jalan Geni Besar dan Jalan Geni Kecil itu karena sering terjadi kebakaran.
''Saat kebakaran kedua pada 1975, saya masih kelas 4 SD. Api berasal dari salah satu rumah warga keturunan Arab,'' jelas Azis yang juga warga keturunan Banjar yang kini tinggal di Kampung Purwogondo, Kelurahan Purwosari saat ditemui di kantornya.
Kampung yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga (KK) itu, kata dia, kini tak lagi tinggal di rumah bertingkat. Sejak kebakaran, hampir seluruh warga merombak bangunan menjadi rumah tembok.
Kepala Kelurahan Dadapsari Kardi SSos menjelaskan, tak hanya model rumah yang mengalami perubahan. Budaya keturunan Banjar yang mewajibkan menikah dengan sesama keturunan itupun kini mulai lentur.
''Perubahan budaya, ekonomi dan sosial kini mulai melebur, baik itu keturunan Arab, China, Banjar maupun Jawa. Seolah tidak ada lagi perbedaan. Namun ketika ada upacara pernikahan, alunan musik dari rebana khas Banjar dan rutinitas pembacaan Kitab Maulid masih dilakukan oleh warga keturunan Banjar,'' paparnya.
Terkait perubahan budaya khususnya kewajiban menikah dengan sesama warga keturunan Banjar, Khotijah mengaku, pergeseran itu terjadi seiring dengan kondisi lingkungan dan waktu yang terus berjalan ke arah modern.
''Delapan anak saya, tidak ada satupun yang menikah dengan sesama keturunan Banjar. Anak pertama menikah dengan warga Belanda, yang lainnya menikah dengan warga Jawa,'' kata Khotijah.
Ya, sebagai bagian dari Kampung Melayu, Kampung Geni dari masa ke masa akan terus mengalami perubahan. Kampung Melayu yang awalnya terbagi menjadi 3 kelurahan yaitu, Kelurahan Dadapsari, Melayu Darat dan Banjarsari itu sejalan dengan kemajuan perdagangan di Semarang, baik ekspor maupun impor yang semakin berkembang setiap tahunnya telah membawa perubahan perilaku budaya, sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Dan, toponimik lorong-lorong dikampung Melayu ini merupakan satu bentuk kearifan lokal, bagaimana pemberian nama-nama pada sub kawasan ataupun koridor tersebut sangat erat terkait dengan fenomena kesejarahan yang menjadi sangat unik dan kental dengan nuansa setempat. Namun, akankah nama itu akan terus terjaga atau bahkan kehilangan makna dan aspek historisnya? Tentu para generasi selanjutnyalah yang menjadi penentunya. (KS)

Comments
Post a Comment