Jejak Raja Gula Asia Oe Tiong Ham di Bongsari

PERNAHKAH Anda berkunjung ke Kelenteng Sam Poo Kong? Ketika tiba di area parkirnya, cobalah membalikkan badan. Anda pasti akan mendapati satu bangunan yang menjulang paling tinggi. 
Karya aristektual diatas bukit itu berada di RT 4 RW 8, Pamularsih 12 Kelurahan Bongsari. Mungkin tidak semua orang tahu, bahwa gedung itu dahulu merupakan pusat kerajaan bisnis Oe Tiong Ham, Raja Gula Asia dari Semarang.
Gedung yang dibangun oleh seorang arsitektur berkebangsan Yahudi itu masih terlihat kental bernuansa Eropa.
''Karena letaknya yang strategis menghadap ke Laut Jawa, lalu gedung ini dibeli oleh Oe Tiong Ham,'' tutur Bambang Wijanarko, pemilik klaim atas bangunan itu, saat ditemui.
Diceritakan dari lantai dua bangunan seluas 15 x 30 meter itu, Oe Tiong Ham mengawasi kapal-kapal dagangnya. Dengan kekayaan yang diperoleh dari perdagangan antarnegara inilah Oe Tiong Ham membangun kantor bisnisnya.
Menurut penuturan dari orang-orang yang dulu pernah bekerja di tempat itu, kondisi kantor sangat menakjubkan. Kantor itu tidak hanya berada di satu bangunan, tapi seluruh perkampungan Bongsari. Ada gapura megah berwarna putih untuk menyambut orang-orang yang datang.
Di dalamnya ada taman bunga yang terawat, dan beberapa bangunan kecil yang dihubungkan ke kantor induk dengan jalan setapak. Lantai dua bangunan induk terbuat dari kayu jati yang berlapis timah. Selain itu, semua lantai bangunan dikompleks perkantoran tersebut, baik dalam maupun luarnya terbuat dari marmer.
''Dahulu orang menyebutnya sebagai Istana Marmer. Di lantai satu, ada lima kamar untuk urusan dagang Oe Tiong Ham dan tempat tinggal bagi beberapa stafnya. Menurut mantan staf yang pernah datang kesini, dulu ada banyak guci bermotif Cina untuk menyiman pundi-pundi emas tuannya,'' papar pengusaha sabun herbal itu.
Selain itu, juga banyak terdapat perabotan mahal semacam peralatan makan dari perak dan beberapa patung singa yang indah. Sedangkan lantai dua hanya terdiri atas tiga ruangan, salah satunya digunakan untuk bersembahyang. Hingga hari ini masih terdapat batu prasasti bertuliskan huruf Cina disana.
Jejak kejayaan bangunan itu kini hampir tak berbekas. Kompleks kerajaan bisnis itu sudah disulap menjadi pemukiman padat sejak militer Belanda berkuasa. Yang tersisa hanyalah satu gedung utama yang keadaannya sangat memprihatinkan. Gedung dua lantai itu hanya meninggakan pilar-pilar yang sudah keropos, jendela tua berkarat dan cat yang sudah kusam. Bahkan marmer dan timah pelapis lantai serta kekayaan Raja Gula Asia Tenggara sudah raib dijarah orang yang tidak bertanggung jawab ketika Indonesia dilanda stereotipe negatif tentang keturunan Tionghoa.
Lantai satu dipetak-petak untuk tempat tinggal warga. Tercatat ada lima keluarga yang bermukim, sedangkan lantai dua dibiarkan apa adanya. Keluarga yang bermukim juga bukan keturunan langsung dari pemilik gedung ini. Sedangkan anak, cucu dan cicit Oe Tiong Ham memilih bermukim di luar negeri.
''Dua bulan yang lalu dua anak Oe Tiong Ham yang bermukim di Amerika dan Belanda, datang kesini. Mereka datang bersama keluarga besarnya untuk sekedar mengenang masa kanak-kanak yang pernah dilaluinya di tempat ini,'' imbuh bapak satu anak itu.
Hingga sekarang, kata Bambang, bangunan itu belum pernah dipugar. Karena keterbatasan dana, perbaikan bangunan hanya dilakukan secara insidental. Pria yang sudah sedari kecil menempati gedung itu sama sekali tidak mengharapkan bantuan pemerintah untuk perbaikan disana.
Menurutnya, belum ada tindakan dari instansi terkait perihal keberadaan bangunan kuno itu. Terkadang kerabat memiliki hubungan dengan Oe Tiong Ham datang. Dari mereka Bambang dititipi beberapa rupiah untuk memperbaiki beberapa bangunan agar layak huni. (KS)

Comments