Gereja Gereformeerd Dr Sutomo 24, Jadi Saksi Pertemuan Rencana Berdirinya UKSW dan YSKI

Nama Gereja Gereformeerd hingga kini masih dipertahankan, sehubungan dengan konsekuensi hukum dan sejarahnya. Jemaat gereja ini berasal sejak zaman Hindia Belanda. Berdiri pada 27 Oktober 1918, namun baru diakui berbadan hukum oleh pemerintah Hindia Belanda pada 18 Maret 1928. Bagaimana kisahnya?

LOKASINYA berada pada posisi ujung bukit kecil yang dikelilingi pohon pinus. Sejauh mata memandang, terlihat kawasan yang sejuk dipandang. Sesekali riuh kicauan burung terdengar dari rerimbunan pohon yang ada di belakang bangunan. 
Gereja Gereformeerd yang berdiri di atas tanah seluas 5.900 meter persegi ini berada di Jalan Dr Sutomo, atau sisi selatan Rumah Sakit Dokter Kariadi. Pada masa kolonial, selain digunakan oleh orang Belanda, gereja ini juga menerima jemaat dari suku Jawa, Ambon, Manado dan Tionghoa. Selain berdiri bangunan utama untuk kebaktian, juga ada dua bangunan lainnya, yakni pastori atau rumah pendeta dan ruang pertemuan. 
Di dalam ruang kebaktian, terlihat semuanya masih menggunakan kayu jati. Kursi untuk jemaat menggunakan rotan. Sandarnya juga menggunakan kayu jati. Desain altar menggunakan gaya Lutheris atau menonjolkan penyampaian firman Tuhan. 
Altar pun terbuat dari kayu jati, berbentuk melengkung dan di atasnya, ada meja kecil untuk tempat alkitab. Namun di Indonesia, gaya altar seperti ini sudah jarang ditemui, tetapi di Belanda masih banyak. 
Lebih terperinci lagi, di dalam ruangan terlihat ada kursi majelis gereja. Letaknya di kanan-kiri altar. Di atas tempat majelis terdapat 12 patung tangan dengan posisi menengadah. Tangan-tangan itu menandakan simbol rasul-rasul Yesus yang jumlahnya ada 12 orang.
Di atas pintu masuk, terdapat salib merah. Di atasnya lagi, terdapat lonceng besar yang selalu dibunyikan saat menjelang kebaktian. Bangunan ini juga menggunakan pondasi dari batu. Sistem struktur dinding memikul dan ruangan yang besar bebas dari kolom besar. 
Sementara atapnya berbentuk segitiga yang dilengkapi menara kecil di bagian depan. Bentuk jendela dan ventilasi lebih ramping, tinggi, tidak lebar dan besar seperti bangunan lain ciri khas Belanda. Dinding ruang bagian dalam dilapisi dengan panel-panel kayu. 
Bentuk atapnya sendiri pelana bersilangan dengan transformasi dan terdapat menara. Karena bangunan mempunyai gaya kolonial, maka tidak terdapat teritisan. Sementara, bangunan bangunan rumah pendeta ada dibagian belakang, bentuk dan strukturnya tidak jauh berbeda dengan gerejanya. Hanya saja, pada balkon dipasang tenda untuk pelindung panas dan hujan yang masuk ke ruang tamu. 

Dari beberapa literatur disebutkan, pada masa pendudukan Jepang sekitar 1943, Konsulen (pendeta utusan) yakni Ds de Jong dan keluarganya harus hidup di kamp tahanan. Setelah perang dunia dua berakhir, sekitar 1946, Ds Van Eyk yang juga warga negara Belanda menjadi konsulen. 
Namun, Ds de Jong hanya empat tahun melayani di Gereformeerd dan diganti Ds Vlijm kemudian Ds Eoosjen hingga pertengan 1961. Selama 15 tahun, gereja Gereformeerd lebih banyak menerima bantuan pendeta Konsulen. Akhirnya, pada 14 Juni 1961, Ds Ran King Hien diteguhkan sebagai pendeta gereja.
Pendeta Rahmat Paska Rajagukguk saat saya temui menuturkan, kondisi bangunan yang perlu perbaikan terutama pada bagian atap sirap yang dibeberapa titik rusak. 
''Gereja ini juga mejadi saksi pertemuan rencana berdirinya Kampus UKSW Salatiga dan sekolah YSKI. Kalau daya tampung maksimal untuk 300-an jemaat,'' katanya. (KS)

Comments