Keterbatasan pendengaran tidak menjadi halangan bagi penyandang tuna rungu untuk menari, atau kesenian gabungan antara gerakan dan musik. Mereka memiliki semangat untuk terus berkarya, dan hasilnya, langkah dan gerak tariannya pun terlihat tetap luwes meski masih latihan.
ALUNAN gending Jawa terdengar dari Rumah Difabel yang di Jalan MT Haryono No 266, pagi menjelang siang. Di salah satu ruang, Anastasia Yogi Tunjungsari, guru tari dari Sanggar Krido Wening tengah mengajari anak-anak tuna rungu belajar menari.
Ia harus mengulang, dan mengulangi gerakan baik tangan, kaki maupun lenggokan pinggul sambil menyesuaikan ketukan nada gending.
Bagi anak yang memiliki kemampuan mendengar, belajar seni tari mungkin tidak sesulit pada anak tunarungu. Karena belajar tari, hakekatnya memerlukan kemampuan mendengar untuk mengharmoniasasikan gerak dengan unsur-unsur lain seperti irama dan ritmik. Karena itu, ketika anak tunarungu belajar seni tari, hakekatnya ia banyak belajar tentang nilai-nilai keindahan, keserasian, keharmoniasan, keluwesan, kesabaran ketelitian, kecermatan, ketepatan, pengaturan emosi, kepekaan rasa, pengendalian diri dan kekompakan.
Sehingga nilai-nilai tersebut diyakini dapat memberi manfaat dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang sifatnya akademik maupun non akademik (pengembangan pribadi). Di bidang pengembangan pribadi diantaranya dapat meningkatkan kepercayaan dan harga diri, keberanian, kreativitas, keceriaan kekompakan.
Dan, siang itu, salah satunya Indah Melati (19) warga Perumahan Pondok Raden Patah yang diantar ibunya, Rumiyatun (52), datang khusus untuk belajar menari di Rumah Difabel. Dengan cepat, ia mampu menirukan gerakan-gerakan yang diajarkan.
''Melatih menari penyandang tuna rungu memerlukan transfer ketukan musik. Melalui tangan yang ditempelkan pada loudspeaker, mereka bisa merasakan ketukan-ketukan itu, baru kemudian ia bisa memulai gerakan. Tidak semua penyandang tuna rungu bisa menari, karena menari memerlukan bakat dasar dan sudah senang terlebih dahulu,'' paparnya.
Latihan menari untuk difabel yang perdana itu akan digelar setiap Minggu mulai pukul 10.00 hingga pukul 12.00. Selain untuk tuna rungu, juga akan diberikan kepada penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
Ketua Komunitas Sahabat Difabel (KSD) Kota Semarang Noviana Dibyantari menjelaskan, kegiatan belajar menari digelar untuk dipersiapkan untuk performance KSD jika diminta untuk mengisi acara selain bernyanyi, bermain drama inklusi.
''Secara khusus, pada ulang tahun KSD April 2018, kita akan siapkan Sendratari Inklusi yang nantinya juga akan berkolaborasi dengan beberapa pihak. Untuk itu dibutuhkan latihan agar tercipta pertunjukan yang spektakuler dari penyandang disabilitas,'' katanya. (KS)
ALUNAN gending Jawa terdengar dari Rumah Difabel yang di Jalan MT Haryono No 266, pagi menjelang siang. Di salah satu ruang, Anastasia Yogi Tunjungsari, guru tari dari Sanggar Krido Wening tengah mengajari anak-anak tuna rungu belajar menari.
Ia harus mengulang, dan mengulangi gerakan baik tangan, kaki maupun lenggokan pinggul sambil menyesuaikan ketukan nada gending.
Bagi anak yang memiliki kemampuan mendengar, belajar seni tari mungkin tidak sesulit pada anak tunarungu. Karena belajar tari, hakekatnya memerlukan kemampuan mendengar untuk mengharmoniasasikan gerak dengan unsur-unsur lain seperti irama dan ritmik. Karena itu, ketika anak tunarungu belajar seni tari, hakekatnya ia banyak belajar tentang nilai-nilai keindahan, keserasian, keharmoniasan, keluwesan, kesabaran ketelitian, kecermatan, ketepatan, pengaturan emosi, kepekaan rasa, pengendalian diri dan kekompakan.
Sehingga nilai-nilai tersebut diyakini dapat memberi manfaat dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang sifatnya akademik maupun non akademik (pengembangan pribadi). Di bidang pengembangan pribadi diantaranya dapat meningkatkan kepercayaan dan harga diri, keberanian, kreativitas, keceriaan kekompakan.
Dan, siang itu, salah satunya Indah Melati (19) warga Perumahan Pondok Raden Patah yang diantar ibunya, Rumiyatun (52), datang khusus untuk belajar menari di Rumah Difabel. Dengan cepat, ia mampu menirukan gerakan-gerakan yang diajarkan.
''Melatih menari penyandang tuna rungu memerlukan transfer ketukan musik. Melalui tangan yang ditempelkan pada loudspeaker, mereka bisa merasakan ketukan-ketukan itu, baru kemudian ia bisa memulai gerakan. Tidak semua penyandang tuna rungu bisa menari, karena menari memerlukan bakat dasar dan sudah senang terlebih dahulu,'' paparnya.
Latihan menari untuk difabel yang perdana itu akan digelar setiap Minggu mulai pukul 10.00 hingga pukul 12.00. Selain untuk tuna rungu, juga akan diberikan kepada penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
Ketua Komunitas Sahabat Difabel (KSD) Kota Semarang Noviana Dibyantari menjelaskan, kegiatan belajar menari digelar untuk dipersiapkan untuk performance KSD jika diminta untuk mengisi acara selain bernyanyi, bermain drama inklusi.
''Secara khusus, pada ulang tahun KSD April 2018, kita akan siapkan Sendratari Inklusi yang nantinya juga akan berkolaborasi dengan beberapa pihak. Untuk itu dibutuhkan latihan agar tercipta pertunjukan yang spektakuler dari penyandang disabilitas,'' katanya. (KS)
Comments
Post a Comment