ANIEM : Saksi Sejarah Pelayanan Instalasi Listrik Masa Kolonial


LISTRIK, saat ini sudah menjadi kebutuhan hidup manusia. Tidak bisa dibayangkan jika kita hidup tanpa lampu penerangan. Apalagi di zaman modern, semua perangkat rumah tangga membutuhkan tenaga listrik. Namun banyak orang yang tidak tahu kapan listrik masuk ke Indonesia, termasuk di Kota Semarang. 
Mengutip Wikipedia, kelistrikan di Hindia Belanda dimulai tahun 1897 ketika perusahaan listrik pertama Nederlandche Indische Electriciteit Maatshappij (NIEM) mulai beroperasi.
Di Batavia, NIEM membangun PLTU di Gambir di tepi Sungai Ciliwung berkekuatan 3200+3000+1350 kW. NIEM kemudian berekspansi ke Surabaya mendirikan perusahaan gas Nederllandsche Indische Gas Maatscappij (NIGM). Pada 1909 perusahaan ini diberi hak membangun beberapa pembangkit tenaga listrik dan didistribusikan ke kota-kota besar di Jawa.
Di Surabaya pada 26 April 1909 NIGM mendirikan anak perusahaan Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM). Kantor Pusat NV ANIEM waktu itu di Jalan Embong, Surabaya, dan kemudian bisa menjadi perusahaan listrik terbesar di Hindia Belanda dan menguasai 40 persen kebutuhan listrik dalam negeri.
Di Kota Semarang sendiri ada beberapa gardu ANIEM, yang masih berdiri namun tak terawat. Sejumlah bangunan era masa kolonial itu berada di sejumlah sudut kota, diantaranya ada di belakang Gereja Blenduk, depan SPBU jalan Dr Wahidin, kampung Jomblang, Jalan Veteran, dan Kampung Melayu.
''Gardu AINEM merupakan bukti sejarah layanan instalasi listrik yang dikelola pihak swasta era kolonial. Belum diketahui pasti apakah tugu itu dibangun sebagai tanda dimulainya pembangunan sarana listrik di Kota Semarang atau setelah listrik menyala,'' kata Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Kota Semarang, Rukardi.
Menurut Rukardi, gardu itu, meski berbentuk bangunan kecil, tetapi juga sebagai artefak yang sesungguhnya memiliki arti penting penanda perkembangan sejarah Kota Semarang. Ia pun meminta agar agar pemerintah daerah setempat menyelamatkan sejumlah gardu tinggalan era kolonial.
''Kalau tidak dilindungi, bangunan itu rentan penggusuran, sehingga perlu dilindungi undang-undang. atau bisa melalui SK walikota dengan menetapkan sebagai bangunan cagar budaya,'' tandasnya.
Dari pantauan, Gardu ANIEM di Jalan Veteran bertuliskan Listrik Pintar, PLN Bersih No Suap, dan logo PLN itu nampak kurang terawat. Meski diatas gardu terpasang tulisan berjalan LED display, nampak dipenuhi tulisan vandalisme. Disamping gardu, dimanfaatkan oleh warga untuk tempat tambal ban.
Selain gardu AINEM, KPS mencatat ada tugu reklame tersisa di Kota Semarang yang perlu diselamatkan, sedangkan bangunan lain adalah sebuah sumur artetis pertama di era kolonial yang ada di sebelah timur Taman Srigunting yang nyaris diabaikan. Menurut Rukardi, latar belakang pembangunan sumur artetis itu berawal dari kasus wabah penyakit di Kota Semarang akibat pola hidup masyarakat saat itu yang tidak higienis.
Sumur artesis yang dibuat pemerintah kolonial Belanda pada 1841 saat itu berada di Parade Plein atau lapangan untuk parade militer. Tujuannya untuk mengurangi dampak buruk wabah kolera yang kala itu melanda kota.
Setelah sumur di Parade Plein, pemerintah membangun sumur-sumur sejenis, antara lain di Tawang, Karang Bidara atau sekarang jalan Raden Patah dan Poncol. Keberadaan sumur-sumur tersebut efektif menekan angka kematian akibat wabah kolera di Semarang.
''Kalau tugu reklame sepengamatan saya tinggal dua buah, yakni di ujung Jalan Gambiran Pecinan dan di ujung Jalan Merak. Keberadaan tugu reklame itu sebagai bukti komunikasi warga kota karena tugu tempat untuk memasang pengumuman dan informasi publik sesuai pada tempatnya,'' papar Rukardi.
Sejumlah bangunan yang ukuran relatif kecil itu terletak di pinggir jalan, sebagian menempati lahan milik warga sehingga dan sangat rentan dibongkar. Seperti gedung pasar dan bangunan lain, yang kecil itu juga penting karena punya nilai sejarah.
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Semarang, Tjahjono Rahardjo menyatakan sejumlah gardu ANIEM, tugu reklame dan sumur artetis itu belum dimasukkan dalam daftar bangunan cagar budaya.
''Kami utamakan skala prioritas, baru gedung-gedung besar yang sedang kami teliti. Upaya konservasi dan pelestarian harus diimbangi asas penggunaan sehingga bangunan yang diusulkan itu sebagai bangunan cagar budaya bermanfaat. Jangan sampai setelah dikonservasi malah mangkrak sperti gedung SI. Saat ini TACB Kota Semarang telah menginventarisir sejumlah bangunan tua yang ada, diperkirakan jumlahnya yang hendak ditetapkan mencapai 200 bangunan,'' jelasnya. (KS)

Comments