Among Jiwo Khusus Gangguan Jiwa, Rp 10 Ribu untuk Makan Tiga Kali

Sepengetahuan masyarakat, pengemis, gelandangan dan orang terlantar (PGOT) yang selama ini dirazia oleh Satpol PP dan instansi terkait, langsung ditampung di panti rehabilitasi sosial untuk mendapat penanganan secara khusus. Tetapi, pada kenyataannya tidaklah demikian. Seperti yang terjadi di Panti Rehabilitasi Sosial Among Jiwo.
HAMPIR tak ada lalu lalang kendaraan di depan gedung berwarna kuning bertuliskan UPTD Panti Rehabilitasi Sosial Among Jiwo yang ada di Jalan Beringin Putih Nomor 1 Ngaliyan. Tak ada aktifitas apapun di halaman gedung itu.
Seorang lelaki berambut putih menyambut kedatangan saya dengan ramah. Muhammad Ridwan, nama lengkapnya. Bapak tiga anak itu merupakan Kepala UPTD lembaga yang ada dibawah naungan Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang itu. Para karyawan pun beberapa terlihat sibuk di depan komputer. Beberapa diantaranya tengah membantu penghuni panti yang hendak istirahat siang. Mayoritas penghuni panti adalah penderita sakit jiwa yang berhasil diamankan oleh Satpol PP dan Dinas Sosial di jalanan Kota Semarang.
Total penghuni panti ada 85 orang, meski kapasitas yang seharusnya hanya untuk menampung 50 orang saja. 15 orang diantaranya menempati dua kamar berukuran besar yang dilengkapi dengan ranjang dan lemari. Sementara, 70 orang lainnya berada di ruang khusus.
''Kalau yang 15 orang ini sudah bisa bersosialisasi. Mereka biasa membantu masak, bersih-bersih dan mulai mandiri untuk aktifitas pribadinya. Misalnya mandi, ganti pakaian dan mencuci bajunya sendiri,'' tutur Ridwan.
Sementara itu, 70 orang lainnya nampak berada di ruang yang dibatasi dengan pintu berterali besi. Ada yang tengah tidur tanpa alas, duduk terdiam, ada pula yang memijat temannya sambil tertawa-tawa.
Menurut Ridwan, beberapa penghuni panti ada yang sengaja diterlantarkan oleh keluarganya karena keluarga sudah tidak dapat menerima keberadaan mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Sehingga, mereka "dibuang" ke jalan dan diambil oleh tim penegak Perda Kota Semarang.
''Selain bimbingan sosial dan mental, mereka juga kita bawa ke RSJ untuk mendapatkan pengobatan. Setiap Senin, ada kegiatan senam bersama, Rabu pagi ada keterampilan berkebun, Kamis ada pembinaan dari internal kami, Jumat ada pembinaan mental dari Kementerian Agama,'' katanya.
Untuk keterampilan yang sifatnya produktif, kata Ridwan, selama ini belum dilakukan karena keterbatasan sarana dan prasarana. Beberapa ruang pun terlihat kosong, salahsatu diantaranya nampak sarana tenis meja yang tersandar di dinding. Selain sarana dan prasarana, anggaran untuk makan bagi para penghuni pun dinilai minim, karena hanya Rp 10 ribu per hari untuk tiga kali makan.
''Panti ini memang khusus menampung mereka yang gangguan jiwa. Kalau tim penegak Perda menangkap pengemis, anak jalanan, atau pemulung, biasanya hanya tiga hari untuk pembinaan kemudian kita kembalikan kepada keluarga. Kalau tidak memiliki keluarga, kita rujuk ke Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah,'' paparnya.
Penanganan PGOT pun menurut Ridwan seharusnya dilakukan secara khusus dan terpisah. Jika di Among Jiwo saat ini fokus pada penanganan gangguan jiwa, penanganan pengemis, gelandangan selama ini belum dapat ditangani secara intens.
''Gelandangan, pengemis itu berbeda dengan mereka yang terkena gangguan jiwa. Tentu penanganannya harus berbeda dan dipisah,'' ujarnya.
Terkhusus pengemis, Ridwan mengakui meski sudah ada Perda yang mengatur, masih dibutuhkan peraturan teknis pelaksanaan berupa Peraturan Walikota. Sehingga, keberadaan pengemis yang ada di Kota Semarang ini masih banyak ditemukan di jalanan maupun perkampungan.
''Kuncinya agar pengemis tidak lagi beroperasi sebenarnya terkait dengan pelaksanaan aturan. Dan yang utama, masyarakat bersama-sama kompak untuk tidak memberi kepada mereka. Karena, sesuai Perda, memberi uang kepada pengemis akan dikenai denda Rp 1 juta dan kurungan tiga bulan,'' tandasnya.
Ridwan pun menyambut baik rencana pemerintah yang hendak membangun panti untuk gelandangan di Rowosari Tembalang seluas delapan hektar. Sehingga, penanganan secara khusus masing-masing PGOT dapat dilakukan secara maksimal.(KS)

Comments