Rumah Panggung Kampung Melayu Terpengaruh Budaya Banjar, Indis dan Tiongkok

KAMPUNG Melayu adalah salah satu kampung kota di Semarang yang memiliki potensi citra budaya yang khas, yaitu multi etnik dengan beragam artefak arsitektural. Rumah panggung masyarakat Banjar, adalah salah satu artefak yang masih dapat ditemukan keberadaannya di Kampung Melayu dan merupakan hasil kebudayaan masyarakat Banjar yang telah mengalami akulturasi dan asimilasi dengan kebudayaan setempat dan kebudayaan lain.
Ketika saya menelusuri Kampung Melayu, rumah panggung yang dahulu menjadi ciri khas jumlahnya pun kini tak ada puluhan. Beberapa yang tersisa pun ada yang masih dihuni, ada yang dikosongkan, ada pula yang dipasang tulisan "Dijual". Kondisi bangunan pun sebagian besar rusak, hanya beberapa yang cukup terawat.
Seperti rumah panggung milik Hilal (30) warga Jalan Layur No 104 salahsatunya. Kayu jati bercat hijau masih terlihat kokoh. Akan tetapi, batas bangunan lantai dua dan lantai satu hampir setara dengan ketinggian jalan. Pasalnya, lantai dasar rumah itu telah ditinggikan hingga dua meter karena rob sering menerjang kawasan itu. Jalan Layur yang dahulu sering tergenang luapan Kali Semarang pun kini telah ditinggikan dan dipaving.
''Rumah ini peninggalan simbah saya. Mbah Kartadinata. Rencana mau kami bongkar, karena semakin tenggelam. Selama saya tinggal disini, sudah ditinggikan dua meter,'' kata ibu dua anak itu.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Taufan Madiasworo, mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Arsitektur Undip pada 2001, kebudayaan Banjar berpengaruh kuat terhadap bentuk rumah panggung masyarakat Banjar di Kampung Melayu Semarang yang tercermin dari fungsi dan susunan ruang, konstruksi dan ragam hias.
''Bentuk rumah panggung masyarakat Banjar di Kampung Melayu merupakan lingkungan buatan yang merupakan bagian dari sistem budaya yang mencakup bagian-bagian sistem lain seperti organik, sosial dan kepribadian serta merupakan ekspresi dari kebudayaan Banjar yang telah mengalami akulturasi dan asimilasi dengan kebudayaan setempat serta kebudayaan lain seperti kebudayaan Tiongkok dan kebudayaan Indis yang berkembang pada saat Pemerintahan Kolonial serta mengalami adaptasi dengan lingkungan dan kondisi setempat,'' paparnya.
Dari hal itu, menurut Taufan, telah menyebabkan terjadinya akulturasi dalam pola perubahan desain rumah panggung masyarakat Banjar di Kampung Melayu yang cenderung memiliki bentuk baru dengan makna lama. Sehingga terjadi interpretasi baru terhadap bentuk lama yang pada dasarya tetap berakar dari kebudayaan Banjar.
Keadaan itu menyebabkan bentuk rumah panggung masyarakat Banjar di Kampung Melayu memiliki ciri khusus dan unik yang justru memperkaya khasanah variasi arsitektur tradisional di Indonesia. Pengaruh kebudayaan Banjar itu kata Taufan, terlihat dari bagian kemuncak atap, listplank, pagar teras, penyangga atap tritisan, dinding penyekat dan tangga. Ragam hiasannya ukiran kaligrafi Arab. Ornamentasinya minimalis, berbeda dengan yang asli di Banjar Kalimantan Selatan.
''Ragam hias batu berukir pada bagian kemuncak atap sulit dilacak maknanya yang merupakan pengaruh arsitektur Indis. Kemudian ragam hias geometris dengan hiasan bunga Peony merupakan pengaruh arsitektur Tiongkok,'' jelasnya.Saat ditemui di kantornya, Lurah Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Dwiyanto menjelaskan, banjir dan rob yang beberapa tahun sering menerjang Kampung Melayu membuat rumah panggung sebagai ciri khas pemukiman di wilayah itu dibongkar oleh pemiliknya. ''Kalau pun yang sekarang ini masih ada, sebagian kondisinya rusak. Dan paling banyak masih ada di wilayah RW 3 dan RW 4,'' tuturnya. (KS)

Comments

  1. http://www.kisahsemarangan.com/2017/01/perumahan-tanah-mas-golden-land-yang.html?showComment=1490751327180#c9214471056739297756

    ReplyDelete

Post a Comment