SELAIN dikenal sebagai kediaman keluarga Tasripin dan kampung Gilo-gilo Semarang, Kampung Kulitan juga memiliki beberapa artefak yang hingga kini masih terjaga. Diantaranya ada tujuh rumah milik Tasripin dengan bangunan asli bergaya Semarangan dengan bahan baku kayu jati yang masih kokoh berdiri serta sebuah masjid di ujung gang.
Dari pengamatan saya, masjid ini memiliki facade tunggal dengan jumlah trave tiga buah. Pintu masuknya ada di sisi timur. Lantai pertama atau kolong bangunan dipergunakan sebagai tempat untuk mengambil air wudhu, dan lantai utamanya untuk shalat atau ibadah. Pondasi bangunan berkonstruksi kerangka kayu terbuat dari batu dengan umpak.
Sementara itu, dari penuturan sesepuh warga, sebelum menjadi masjid megah seperti saat ini, bangunan ini merupakan sebuah surau atau langgar. Dinding bangunan awalnya terbuat dari papan kayu. Bentuk atapnya adalah tajuk tersusun yang pada puncaknya diberi mahkota. Sementara bahan penutup atapnya adalah genteng. Terdapat teritisan yang ditutup dengan seng diakhiri dengan talang gantung.
Selain itu juga terdapat serambi di depan bangunan yang dinaungi dengan atap sosoran dari seng. Atap ini disangga oleh konsol dari besi tuang. Terdapat lubang angin pada entrance. Pintu masuk berdaun ganda dengan ambang datar dan panel dari kayu.
Untuk jendela juga dengan ambang atas datar dan ambang bawah tidak disangga. Jendela ini juga berdaun ganda, terdapat bukaan beruba lubang bukaan angin. Bangunan yang terkait sekitar masid adalah rumah tinggal milik Abdul Djalil yang terletak di sebalah timur bangunan.
Sebenarnya, tak ada yang istimewa dari masjid itu, namun masjid bernama At Taqwa tersebut merupakan saksi sejarah kejayaan Tasripin, warga pribumi terkaya di Kota Semarang pada zaman penjajahan Belanda dan dikenal sebagai pengusaha kulit, kopra dan kapuk.
Karena kisahnya itulah, masjid At Taqwa atau yang lebih dikenal warga dengan sebutan masjid Tasripin ini menjadi salah satu bangunan bersejarah di Kampung Kulitan, yang ada di wilayah Kecamatan Semarang Tengah. Dan dipastikan pula, masjid ini didirikan dalam kurun waktu yang bersamaan dengan pengembangan kawasan Kulitan sebagai kawasan hunian. Meski tepatnya belum diketahui, akan tetapi kampung ini mulai berkembang semenjak didirikannya pejagalan di kampung Jagalan pada dasawarsa pertama abad kesembilan belas. Sebagai perkampungan pribumi adalah wajar jika langgar merupakan fasilitas yang diperlukan.
''Masjid ini dulunya hanya sebuah langgar atau musala kecil yang terbuat dari kayu jati dengan tingkat dua. Bagian bawah untuk wudhu, sementara bagian atas untuk salat dan kegiatan ibadah lainnya. Dibangun atau direnovasi pada 1998. Bangunan yang masih asli tinggal sedikit," kata Mariman (61) salah satu sesepuh Kampung Kulitan, kemarin.
Mariman pun mengaku, pada masa kecil sering tidur di langgar setelah selesai mengaji. Menurutnya, Tasripin merupakan orang agamis, sehingga tidak mustahil langgar itu sangat diperhatikan keberadaannya. Karena, langgar itu digunakan untuk kegiatan ibadah Tasripin bersama keluarga dan para pekerjanya. Peninggalan yang masih asli saat ini menurut Mariman hanyalah bedug dan kentongan saja.
Santoso (53), warga Kampung Kulitan yang juga keturunan Tasripin menjelaskan, langgar, surau atau mushala itu dibangun sekitar 1825 dengan ukuran sekitar 4 meter x 8 meter dengan bahan baku bangunan dari papan kayu jati. ''Langgar atau surau ini menjadi tempat ibadha keluarga dan pekerja, karena keluarga besar memang tinggal di kampung ini,'' jelasnya. (KS)
Dari pengamatan saya, masjid ini memiliki facade tunggal dengan jumlah trave tiga buah. Pintu masuknya ada di sisi timur. Lantai pertama atau kolong bangunan dipergunakan sebagai tempat untuk mengambil air wudhu, dan lantai utamanya untuk shalat atau ibadah. Pondasi bangunan berkonstruksi kerangka kayu terbuat dari batu dengan umpak.
Sementara itu, dari penuturan sesepuh warga, sebelum menjadi masjid megah seperti saat ini, bangunan ini merupakan sebuah surau atau langgar. Dinding bangunan awalnya terbuat dari papan kayu. Bentuk atapnya adalah tajuk tersusun yang pada puncaknya diberi mahkota. Sementara bahan penutup atapnya adalah genteng. Terdapat teritisan yang ditutup dengan seng diakhiri dengan talang gantung.
Selain itu juga terdapat serambi di depan bangunan yang dinaungi dengan atap sosoran dari seng. Atap ini disangga oleh konsol dari besi tuang. Terdapat lubang angin pada entrance. Pintu masuk berdaun ganda dengan ambang datar dan panel dari kayu.
Untuk jendela juga dengan ambang atas datar dan ambang bawah tidak disangga. Jendela ini juga berdaun ganda, terdapat bukaan beruba lubang bukaan angin. Bangunan yang terkait sekitar masid adalah rumah tinggal milik Abdul Djalil yang terletak di sebalah timur bangunan.
Sebenarnya, tak ada yang istimewa dari masjid itu, namun masjid bernama At Taqwa tersebut merupakan saksi sejarah kejayaan Tasripin, warga pribumi terkaya di Kota Semarang pada zaman penjajahan Belanda dan dikenal sebagai pengusaha kulit, kopra dan kapuk.
Karena kisahnya itulah, masjid At Taqwa atau yang lebih dikenal warga dengan sebutan masjid Tasripin ini menjadi salah satu bangunan bersejarah di Kampung Kulitan, yang ada di wilayah Kecamatan Semarang Tengah. Dan dipastikan pula, masjid ini didirikan dalam kurun waktu yang bersamaan dengan pengembangan kawasan Kulitan sebagai kawasan hunian. Meski tepatnya belum diketahui, akan tetapi kampung ini mulai berkembang semenjak didirikannya pejagalan di kampung Jagalan pada dasawarsa pertama abad kesembilan belas. Sebagai perkampungan pribumi adalah wajar jika langgar merupakan fasilitas yang diperlukan.
''Masjid ini dulunya hanya sebuah langgar atau musala kecil yang terbuat dari kayu jati dengan tingkat dua. Bagian bawah untuk wudhu, sementara bagian atas untuk salat dan kegiatan ibadah lainnya. Dibangun atau direnovasi pada 1998. Bangunan yang masih asli tinggal sedikit," kata Mariman (61) salah satu sesepuh Kampung Kulitan, kemarin.
Mariman pun mengaku, pada masa kecil sering tidur di langgar setelah selesai mengaji. Menurutnya, Tasripin merupakan orang agamis, sehingga tidak mustahil langgar itu sangat diperhatikan keberadaannya. Karena, langgar itu digunakan untuk kegiatan ibadah Tasripin bersama keluarga dan para pekerjanya. Peninggalan yang masih asli saat ini menurut Mariman hanyalah bedug dan kentongan saja.
Santoso (53), warga Kampung Kulitan yang juga keturunan Tasripin menjelaskan, langgar, surau atau mushala itu dibangun sekitar 1825 dengan ukuran sekitar 4 meter x 8 meter dengan bahan baku bangunan dari papan kayu jati. ''Langgar atau surau ini menjadi tempat ibadha keluarga dan pekerja, karena keluarga besar memang tinggal di kampung ini,'' jelasnya. (KS)
Comments
Post a Comment