Sungai Banjirkanal Barat tak hanya berfungsi sebagai pengendali banjir di Kota Lunpia. Keberadaannya juga menjadi tempat menggantungkan hidup bagi banyak orang. Salah satunya, Camin yang sejak 1980 menyediakan jasa menyeberangkan penumpang dari tepi sungai Banjirkanal Barat yang satu ke tepi lainnya.
PERMUKAAN air Banjirkanal Barat masih tenang. Semilir angin yang berasal dari pertemuan udara dan rindangnya pohon semakin mendukung indahnya suasana pagi itu. Dari tepian, tampak sebuah perahu sedang kembali setelah menyeberangkan penumpang. Perahu kayu yang biasa dikenal dengan istilah Perahu Eretan itu dikendalikan oleh seorang lelaki, namanya Camin.
Saat perahu menepi, perahu tidak dalam keadaan kosong. Di dalamnya terdapat beberapa jenis perabot rumah tangga seperti pakaian, gayung, teko, kompor, dan panci. Camin menyediakan itu semua. Sebab jika malam tiba, Camin menyulap perahunya menjadi tempat tidur.
Meski BKB banjir atau kondisi tidak memungkinkan, lelaki kelahiran 1960 itu tetap bertahan tinggal di perahu. Sebab di Semarang, bapak empat orang anak ini juga tidak memiliki tempat tinggal tetap. Jika malam tiba, perahu akan ditambatkan di tengah.
"Pokoknya mau banjir, hujan deras, ada geledek, saya masih di sini. Kalau perahu ditaruh di tepi, tikus pada loncat menggerogoti papan bagian bawah, nanti bocor airnya tembus, bisa tenggelam," tuturnya.
Pria asal Brebes ini memulai profesi penyedia jasa penyeberangan sejak 1980 dengan modal sekitar Rp 13 juta ketika Banjirkanal Barat belum dinormalisasi. Biaya itu belum termasuk kawat besi yang dibelikan anaknya dari pelabuhan Cirebon.
Saat proyek normalisasi BKB berjalan, Camin sempat diminta oleh pekerja proyek untuk berhenti mengoperasikan jasa angkut perahunya. Tetapi Camin menolak. Ia menyiasatinya dengan menggeser steger perahu ke barat atau timur, menyesuaikan kondisi proyek.
"Tukang proyek suruh saya berhenti, tapi saya tidak mau. Misalkan sebelah sini lagi dibangun, stegernya dicopot, saya pindah ke sebelah sana, biasanya dibantu, karena butuh minimal dua orang," ujarnya.
Saat dirintis, Camin mengaku usahanya kurang diminati masyarakat. Perahu pun sempat dipindah ke Kaligawe, namun sama-sama tidak laku. Lalu, usaha jasa penyebrangan diteruskan oleh adiknya. Camin memutuskan mengadu nasib ke Jakarta, sebelum akhirnya kembali ke Semarang untuk menggeluti usahanya itu.
Agar perahu bergerak maju, Camin bertumpu pada seutas kawat besi yang membentang dari utara ke selatan dan menggerakkan tangannya serupa menarik tambang tanpa lawan. Untuk mencegah luka akibat gesekan telapak tangan dengan permukaan kawat besi yang kasar, Camin menjadikan potongan sandal jepit bekas sebagai alas.
Jumat (29/7) sekitar pukul 10.00 pagi, baru satu penumpang yang menggunakan jasa transportasi miliknya. Ia memasang tarif Rp 2.000 untuk sekali jalan. Camin mengaku jumlah penumpang yang naik setiap harinya tidak menentu. Bahkan sewaktu-waktu, ia tidak mendapatkan penumpang sama sekali.
"Soalnya sekarang ada jalan kereta, sebelumnya bisa sampai 30 orang, ya yang penting bisa buat makan sehari-hari," katanya sambil tertawa.
Salah seorang penumpang, Risti (27) mengaku jarang menggunakan jasa perahu penyebrangan karena sudah memiliki kendaraan bermotor. Meski demikian, menurut Risti, usaha yang dijalankan Camin dapat memudahkan warga yang hendak menyebrang tanpa harus memutar jalan.
"Buat yang jalan kaki atau naik sepeda tidak perlu mutar," katanya.
Adapun Sapta Eka Saputra (4,5) mengaku senang menggunakan jasa penyebrangan. Sewaktu-waktu ia akan mengajak orangtua ataupun nenek dan kakeknya untuk menemaninya ke Banjir Kanal Barat.
"Bisa lihat ikan," ungkapnya malu-malu.
Sampai saat ini, Camin memilih untuk mempertahankan profesinya di tengah penghasilan yang tidak menentu. Sempat terbesit keinginan untuk membuka usaha, tetapi ia terkendala modal.
"Nikmati apa adanya ajalah, terserah Yang Kuasa," ujar Camin menutup obrolan. (KS)
PERMUKAAN air Banjirkanal Barat masih tenang. Semilir angin yang berasal dari pertemuan udara dan rindangnya pohon semakin mendukung indahnya suasana pagi itu. Dari tepian, tampak sebuah perahu sedang kembali setelah menyeberangkan penumpang. Perahu kayu yang biasa dikenal dengan istilah Perahu Eretan itu dikendalikan oleh seorang lelaki, namanya Camin.
Saat perahu menepi, perahu tidak dalam keadaan kosong. Di dalamnya terdapat beberapa jenis perabot rumah tangga seperti pakaian, gayung, teko, kompor, dan panci. Camin menyediakan itu semua. Sebab jika malam tiba, Camin menyulap perahunya menjadi tempat tidur.
Meski BKB banjir atau kondisi tidak memungkinkan, lelaki kelahiran 1960 itu tetap bertahan tinggal di perahu. Sebab di Semarang, bapak empat orang anak ini juga tidak memiliki tempat tinggal tetap. Jika malam tiba, perahu akan ditambatkan di tengah.
"Pokoknya mau banjir, hujan deras, ada geledek, saya masih di sini. Kalau perahu ditaruh di tepi, tikus pada loncat menggerogoti papan bagian bawah, nanti bocor airnya tembus, bisa tenggelam," tuturnya.
Pria asal Brebes ini memulai profesi penyedia jasa penyeberangan sejak 1980 dengan modal sekitar Rp 13 juta ketika Banjirkanal Barat belum dinormalisasi. Biaya itu belum termasuk kawat besi yang dibelikan anaknya dari pelabuhan Cirebon.
Saat proyek normalisasi BKB berjalan, Camin sempat diminta oleh pekerja proyek untuk berhenti mengoperasikan jasa angkut perahunya. Tetapi Camin menolak. Ia menyiasatinya dengan menggeser steger perahu ke barat atau timur, menyesuaikan kondisi proyek.
"Tukang proyek suruh saya berhenti, tapi saya tidak mau. Misalkan sebelah sini lagi dibangun, stegernya dicopot, saya pindah ke sebelah sana, biasanya dibantu, karena butuh minimal dua orang," ujarnya.
Saat dirintis, Camin mengaku usahanya kurang diminati masyarakat. Perahu pun sempat dipindah ke Kaligawe, namun sama-sama tidak laku. Lalu, usaha jasa penyebrangan diteruskan oleh adiknya. Camin memutuskan mengadu nasib ke Jakarta, sebelum akhirnya kembali ke Semarang untuk menggeluti usahanya itu.
Agar perahu bergerak maju, Camin bertumpu pada seutas kawat besi yang membentang dari utara ke selatan dan menggerakkan tangannya serupa menarik tambang tanpa lawan. Untuk mencegah luka akibat gesekan telapak tangan dengan permukaan kawat besi yang kasar, Camin menjadikan potongan sandal jepit bekas sebagai alas.
Jumat (29/7) sekitar pukul 10.00 pagi, baru satu penumpang yang menggunakan jasa transportasi miliknya. Ia memasang tarif Rp 2.000 untuk sekali jalan. Camin mengaku jumlah penumpang yang naik setiap harinya tidak menentu. Bahkan sewaktu-waktu, ia tidak mendapatkan penumpang sama sekali.
"Soalnya sekarang ada jalan kereta, sebelumnya bisa sampai 30 orang, ya yang penting bisa buat makan sehari-hari," katanya sambil tertawa.
Salah seorang penumpang, Risti (27) mengaku jarang menggunakan jasa perahu penyebrangan karena sudah memiliki kendaraan bermotor. Meski demikian, menurut Risti, usaha yang dijalankan Camin dapat memudahkan warga yang hendak menyebrang tanpa harus memutar jalan.
"Buat yang jalan kaki atau naik sepeda tidak perlu mutar," katanya.
Adapun Sapta Eka Saputra (4,5) mengaku senang menggunakan jasa penyebrangan. Sewaktu-waktu ia akan mengajak orangtua ataupun nenek dan kakeknya untuk menemaninya ke Banjir Kanal Barat.
"Bisa lihat ikan," ungkapnya malu-malu.
Sampai saat ini, Camin memilih untuk mempertahankan profesinya di tengah penghasilan yang tidak menentu. Sempat terbesit keinginan untuk membuka usaha, tetapi ia terkendala modal.
"Nikmati apa adanya ajalah, terserah Yang Kuasa," ujar Camin menutup obrolan. (KS)
Comments
Post a Comment