Yoyok Bambang Priyambodo, Hidup Untuk Menari, Menari Untuk Hidup

BAGI orang awam, melihat seseorang yang tengah menari adalah sebuah keindahan. Bagaimana menyelaraskan wiraga, wirama dan wirasa dalam satu harmonisasi. Bagaimana anggunnya seorang penari dalam menampilkan sebuah tarian sehingga menimbulkan decak kagum dari penonton. Manisnya senyuman seolah tidak ada suatu hal pun yang dapat membuat seorang penari merasa sedih. Lentik lenggokan dan limbai tangan. Halusnya gerakan kepala ke kanan dan ke kiri. Semua selaras dalam alunan musik.
Pernahkah kita terbersit, apa makna yang tersembunyi dari menari itu. Mengapa menari tidak indah jika tidak menggabungkan keempat poin yaitu wiraga, wirama, wirasa dan harmonisasi?
Bagi Yoyok Bambang Priyambodo, bapak tiga anak kelahiran Semarang 25 April 1966 menjelaskan, dalam diri seorang penari, percaya diri yang tinggi wajib dimiliki. Badan pun menjadi sehat karena banyak olah raga saat menari.
Pemilik Sanggar Greget itu pun mengisahkan pengalamannya menjadi penari yang tak hanya dikenal di seantero negeri. Darah tari yang mengalir dari kedua orangtuanya telah membuatnya untuk terus melestarikan tari. Bahkan, dengan tari, Yoyok pun mengaku bisa "hidup". Oleh orangtuanya, Yoyok kecil dilatih secara khusus dengan mengundang guru tari terkenal pada masa itu. Maridi, S Pamardi dari Solo, Sawitri dari Cirebon dan Sunarno Skar.
''Ketika duduk di bangku SD, saya pun sudah ikut Porseni. Karena menang, dikirim oleh sekolah sebagai duta seni. Pada 1979 masa pemerintahan Presiden Soeharto, saya juga mendapat kehormatan untuk menari di istana merdeka. Mulai itulah, saya mulai serius dengan tari. Karena, dalam tari tidak hanya sekedar gerak, tetapi juga harus mengerti musik, berteater, gamelan dan tata rias wajah,'' tuturnya saat ditemui di Sanggar Greget Jalan Pamularsih I, Nomor 2 G, Barusari, Semarang Barat.
Nama Yoyok pun mulai dikenal. Undangan untuk mengajar tari secara privat hingga tampil dalam acara-acara pun tidak pernah berhenti sampai kini. Untuk sekali tampil, awalnya Yoyok mematok Rp 2,5 juta. Kini, untuk tampil menari, ia mematok mulai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta.
''Tari yang kita jalani secara profesional, serius dan disiplin bisa mencukupi hidup. Hidup untuk menari dan menari untuk hidup. Dan sampai saat ini, saya juga mengajar tari di sanggar Greget. Setiap sore pesertanya mulai anak-anak hingga dewasa. Dan agar tari tetap lestari, tentu harus ada kreasi-kreasi dan pengembangan,'' jelasnya.
Yoyok berharap, untuk melestarikan agar tari tetap lestari dan berkembang, butuh perhatian semua pihak, mulai dari masyarakat, seniman hingga pemerintah. Mengembalikan seni tari masuk kembali ke kurikulum pendidikan juga harus direalisasikan. Selain itu, ia juga berharap, seni tari harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
''Seni jalanan yang ada di perempatan lampu merah seharusnya mendapat perhatian pemerintah. Seni pun terlihat menjadi murahan. Mereka itu hanya sekedar menabuh dan berlenggak-lenggok. Kalau mereka dilatih, dan diberi tempat, tentu akan menaikkelaskan seni tari itu sendiri,'' harapnya.
Yoyok pun melihat, gedung kesenian yang ada di Kota Semarang selama ini beralih fungsi dan lebih banyak menjadi tempat untuk menggelar pernikahan. Sehingga, ketika kegiatan khusus untuk seni, tergeser dan tidak memiliki ruang yang tepat. Pemerintah pun diharapkan Yoyok untuk membuat aturan agar memberikan prosentase tayangan seni.
''Intinya, pemerintah harus membuat gedung khusus yang tidak tercampur dengan kegiatan lain. Agar kesenian bisa terus hidup. Seniman, pemerintah dan masyarakat perlu duduk bersama untuk fokus pada masalah ini,'' tandasnya. (KS)

Biodata :

Nama : Yoyok Bambang Priyambodo
Tempat Tanggal Lahir : Semarang, 25 April 1966

Prestasi :
1. Terbaik I dalam Festival Walisongo Surabaya komposisi Warak Dugder
2. Terbaik I dalam Festival Budaya Khatam Qur'an III Tingkat Nasional pada 1999
3. Duta Seni ke Swiss, Jepang, Inggris, Suriname, Belanda, Spanyol, Singapura, dan Australia

Pekerjaan :
Pemilik Sanggar Greget

Comments