BELASAN monyet ekor panjang (macaca fascicularis) berebut kacang dan ketela yang diberikan pengunjung obyek wisata Goa Kreo, Jumat (25/7) pagi. Beberapa ekor monyet berukuran besar berupaya merebut makanan yang dipegang monyet kecil.
Monyet-monyet itu tetap asyik menikmati makanan sambil duduk di batuan berukuran besar yang bentuknya tak beraturan. Saat saya mendekat batu besar yang di sekelilingnya dipasang patok besi, beberapa monyet pun melompat beberapa.
Di tengah patok besi, ada empat batu yang tertata tak rapi. Satu batu besar dan tiga lainnya berukuran agak kecil. Salahsatunya berbentuk lumpang. Lumpang merupakan wadah berbentuk bejana yang biasanya untuk menumbuk padi, kopi, ataupun bahan olahan lainnya.
Memiliki diameter 80 sentimeter dengan lobang di tengahnya dengan diameter 25 sentimeter dan memiliki kedalaman lobang sekitar 25 sentimeter. Batu itu sebelumnya berada di tegalan milik Muyadi, warga Dukuh Siwarak, Kelurahan Kandri. Batu itu dipindah ke areal parkir Wisata Goa Kreo pada April 2010 agar tidak tenggelam saat Waduk Jatibarang mulai dialiri air melalui upacara Mboyong Watu Lumpang.
Sesepuh sekaligus juru kunci Wisata Goa Kreo, Sumar (74) menuturkan, keberadaan Watu Lumpang berkaitan erat dengan penyebaran agama Islam pada masa Sunan Kalijaga sebelum pembangunan Masjid Demak. Berdasarkan mitos yang berkembang di tengah masyarakat, Watu Lumpang digunakan Sunan Kalijaga untuk bermunajat saat mendapat tugas suci mencari tiang Masjid Demak dari Jatingaleh.
''Saya sendiri tidak tahu pasti kapan batu tersebut ditemukan, karena sudah sejak turun-temurun situs bersejarah tersebut sudah ada. Masih ada satu benda yang belum ditemukan yakni alu. Saya juga tidak mengetahui pasti apakah alat penumbuk tersebut terbuat dari kayu ataupun batu. Yang jelas jika ada batu lumpang tentu saja ada alunya (alat penumbuk padi-red). Namun saya tidak tahu pasti apakah ada atau tidak,'' tuturnya.
Menurutnya, andaikata situs tersebut lenyap maka masyarakat akan kehilangan penanda sebagian kisah yang masih dipercayai oleh turun temurun bagi masyarakat Dukuh Talunkacang terkait syiar penyebaran agama Islam. Selain Watu Lumpang yang ada di kawasan itu, batu berukuran paling besar merupakan batu yang sebelumnya berada di tengah lahan parkir. Ada juga berbentuk lumpang akan tetapi merupakan lumpang buatan dan satu batu lainnya berbentuk seperti nampan yang kondisinya telah terbelah menjadi dua. (KS)
Monyet-monyet itu tetap asyik menikmati makanan sambil duduk di batuan berukuran besar yang bentuknya tak beraturan. Saat saya mendekat batu besar yang di sekelilingnya dipasang patok besi, beberapa monyet pun melompat beberapa.
Di tengah patok besi, ada empat batu yang tertata tak rapi. Satu batu besar dan tiga lainnya berukuran agak kecil. Salahsatunya berbentuk lumpang. Lumpang merupakan wadah berbentuk bejana yang biasanya untuk menumbuk padi, kopi, ataupun bahan olahan lainnya.
Memiliki diameter 80 sentimeter dengan lobang di tengahnya dengan diameter 25 sentimeter dan memiliki kedalaman lobang sekitar 25 sentimeter. Batu itu sebelumnya berada di tegalan milik Muyadi, warga Dukuh Siwarak, Kelurahan Kandri. Batu itu dipindah ke areal parkir Wisata Goa Kreo pada April 2010 agar tidak tenggelam saat Waduk Jatibarang mulai dialiri air melalui upacara Mboyong Watu Lumpang.
Sesepuh sekaligus juru kunci Wisata Goa Kreo, Sumar (74) menuturkan, keberadaan Watu Lumpang berkaitan erat dengan penyebaran agama Islam pada masa Sunan Kalijaga sebelum pembangunan Masjid Demak. Berdasarkan mitos yang berkembang di tengah masyarakat, Watu Lumpang digunakan Sunan Kalijaga untuk bermunajat saat mendapat tugas suci mencari tiang Masjid Demak dari Jatingaleh.
''Saya sendiri tidak tahu pasti kapan batu tersebut ditemukan, karena sudah sejak turun-temurun situs bersejarah tersebut sudah ada. Masih ada satu benda yang belum ditemukan yakni alu. Saya juga tidak mengetahui pasti apakah alat penumbuk tersebut terbuat dari kayu ataupun batu. Yang jelas jika ada batu lumpang tentu saja ada alunya (alat penumbuk padi-red). Namun saya tidak tahu pasti apakah ada atau tidak,'' tuturnya.
Menurutnya, andaikata situs tersebut lenyap maka masyarakat akan kehilangan penanda sebagian kisah yang masih dipercayai oleh turun temurun bagi masyarakat Dukuh Talunkacang terkait syiar penyebaran agama Islam. Selain Watu Lumpang yang ada di kawasan itu, batu berukuran paling besar merupakan batu yang sebelumnya berada di tengah lahan parkir. Ada juga berbentuk lumpang akan tetapi merupakan lumpang buatan dan satu batu lainnya berbentuk seperti nampan yang kondisinya telah terbelah menjadi dua. (KS)
Comments
Post a Comment