Sejarah Kampung Pederesan Besar dan Pederesan Kecil

PENAMAAN suatu daerah, tempat atau jalan yang dikenal sebagai toponim, sudah dikenal masyarakat sejak awal keberadaannya. Kata toponim berasal dari bahasa Yunani topos dan nomos. Topos berarti tempat, sedangkan nomos berarti nama. Sehingga, pengertian toponim adalah nama suatu tempat. Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian toponim tidak hanya pada nama suatu tempat  tetapi lebih luas yaitu pada upaya untuk mencari asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologi nama suatu tempat/daerah.
Kajian tentang toponim sangat erat dengan kajian sejarah. Latar belakang penamaan suatu tempat/daerah tentu tidak lepas dari proses menemukan hal-hal yang khas yang dapat menjadi identitas suatu tempat/daerah. Toponim mampu memberikan gambaran mengenai latar belakang  dinamika masyarakat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang ingin diabadikan atau diingat oleh masyarakat. Pelacakan  toponim tempat /daerah mempunyai peran dalam menelusur latar belakang kesejarahan dan aktivitas  atau kondisi awal saat tempat/daerah itu terbentuk.
Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia memiliki banyak perkampungan yang lahir atau bahkan menjadi embrio kota. Kampung-kampung kuno di Semarang selain mencerminkan aktivitas masyarakat penghuninya, juga mencerminkan beragam etnis yang mencari penghidupan di Semarang, seperti etnis Arab, Cina, Melayu, Banjar dan lain sebagainya. Dari nama kampung-kampung kuno, yang telah terbentuk jauh sebelum keberadaan kota Semarang, dapat dilacak sejarahnya dari kampung tersebut.
Misalnya Kampung Batik sebagai tempat perajin batik, Pedamaran sebagai tempat perdagangan damar/bahan pewarna batik, Sayangan sebagai tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga, Petudungan, tempatnya perajin caping, Kulitan sebagai tempat perajin/pengusaha kulit), Gendingan sebagai tempat pembuat gamelan, Pendrikan yang sebelumnya merupakan lahan milik Tuan Frederick dan sebagainya.
Salah satu kampung kuno di Kota Semarang yang saya telusuri adalah Kampung Deresan atau Pederesan. Dalam buku Riwayat Semarang yang ditulis oleh editor Mimbar Melajoe, sebuah media sastra bulanan yang terbit di Semarang, Liem Thian Joe menyebutkan, sebelum menjadi Kampung Pederesan Kecil dan Pederesan Besar, kampung yang ada di Jalan MT Haryono itu sebelumnya bernama Kampung Deresan.
Penduduk di kampung itu, menurut Liem, banyak yang membuat gula aren dengan menderes pohon aren yang waktu itu banyak tumbuh di kawasan itu. Ketika kampung itu menjadi semakin ramai dan padat penduduknya, kampung itupun dipecah menjadi dua bersamaan dengan pohon aren yang harus ditebang untuk tempat tinggal. Penduduk di kampung itu pun tidak lagi mengandalkan usahanya pembuat gula dan menderes aren.
Berbeda dengan penuturan sesepuh Kampung Pederesan Kecil RT 1 RW 3, Suhartono (72) yang juga pensiunan staf Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi Jawa Tengah. Menurutnya, nama Kampung Pederesan yang ia dapat dari cerita ayahnya, almarhum Niti Atmojo, bukan berasal dari banyaknya warga yang bekerja sebagai pembuat gula dan tumbuh lebatnya pohon aren maupun kebiasaan warga menderes aren.
''Menurut cerita bapak saya, di kampung ini dulu sering banyak anak-anak yang mengaji atau tadarus (nderes-Bahasa Jawa) Alquran. Dari kata tadarus inilah yang kemudian menjadi nama nderes, deresan dan pederesan, karena dulu mayoritas masyarakat disini adalah muslim,'' tutur bapak dua anak dan dua cucu itu saat ditemui di kediamannya.
Meski tidak ada tanda atau prasasti terkait asal muasal nama kampung, Suhartono menyebutkan, salah satu tokoh Islam yang dikenal sebagai guru mengaji di kampung itu pada masa lalu, yakni ustad Sa'ad. Keberadaan dua mushala Ar Rofi' di Kampung Pederesan Kecil maupun mushala Nurul Qomar di Pederesan Besar pun menurutnya bukanlah bangunan lama dan saksi bisu sejarah disebutnya kampung itu sebagai kampungnya kaum sarungan yang aktif mengaji atau tadarus Alquran.
''Kalau yang masih menjadi ciri khas kampung ini adalah masih adanya rumah khas semarangan yang biasa disebut rumah Doro Petak. Disebut Doro Petak karena bentuknya mirip dengan kandang burung dara,'' jelasnya.
Kampung Pederesan Besar dan Pederesan Kecil sendiri, kata Suhartono, saat ini tidak hanya dihuni warga asli Jawa saja, tetapi 50 persen merupakan warga keturunan Tionghoa. Kehidupan kampung yang masih menjunjung tinggi kebersamaan itu sampai hari ini pun tetap dilestarikan dan terus dijaga.
Sementara itu menurut sejarawan Undip Dewi Yuliati, dari kesaksian Liem Thian Joe-lah yang menurutnya nama Kampung Pederesan lebih tepat karena Liem merupakan pelaku sejarah dan mencermati nama kampung berdasarkan toponim.
''Kampung Deresan atau Pederesan itu kan sudah ada ketika Liem Thian Joe menulis buku itu pada 1931 seiring terbentuknya Semarang sebagai wilayah administrasi kota. Nama kampung di Kota Semarang ini kan cenderung diambil dari mata pencaharian atau profesi penduduknya. Misalnya saja, kampung Batik yang mayoritas warganya sebagai perajin batik, Sayangan sebagai tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga, Petudungan, tempatnya perajin caping,'' papar Dewi Yuliati. (KS)

Comments