Masjid Jami Pekojan, Pertahankan Ukiran Bulan Sabit dan Pohon Bidara

LANTUNAN azan terdengar dari sebuah menara yang tidak terlalu tinggi. Beberapa pekerja seperti kuli panggul, tukang becak, maupun karyawan perkantoran yang ada di sepanjang Jalan Pekojan itu pun bergegas memasuki sebuah gang. Setelah memasuki gang bernama Petolongan yang memiliki jalan dengan lebar kurang dari lima meter itu berdiri megah sebuah masjid.
Dari jalan kecil dengan lalu lalang tukang becak yang mengantar penumpang, masjid itu terlihat biasa saja, sama dengan masjid-masjid yang ada di daerah lainnya. Namun, setelah memasuki pintu gerbang, beberapa nisan berada di kanan kiri gerbang dan di depan serambi. Pohon bidara nampak berdiri kokok di samping kiri gerbang. Sementara di depan serambi, hanya ada empat pohon bidara yang masih kecil.
Memasuki ruang utama seluas 10 x 10 meter itu masih terjaga keasliannya. Meski serambi terlihat lebih megah, namun tak mengalahkan bangunan berarsitektur kuno yang lebih tinggi dari bangunan baru. Tembok tebal, daun pintu tinggi yang terbuat dari kayu jati terukir bentuk kipas sederhana, jendela kecil dengan kaca patri berbentuk bunga, jendela dengan hiasan teralis bunga dari besi masih terawat baik.
Meski telah mengalami banyak renovasi, namun banyak benda kuno yang masih bisa temukan di ruang utama masjid. Seperti mimbar masjid yang dari kayu jati dan sangat kuno, diatas imam terdapat ukiran bintang dan bulan sabit yang merupakan ciri khas masjid zaman dulu, serta jam kuno di tempel di beberapa bagian dinding masjid. Mengamati prasati yang ditemukan menempel di dinding yang ada di dalam masjid itu tertulis, bahwa masjid itu dibangun pada 1309 Hijriah atau 1878 Masehi.
Imam Besar Masjid Jami Pekojan KH Idris Muhammad (72) menuturkan, asal muasal masjid yang ada di Jalan Petolongan 1 itu sebelumnya adalah mushala kecil. Namun oleh enam tokoh keturunan Pakistan merubah mushola kecil menjadi masjid yang memiliki arsitektur mirip dengan Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman.
''Dalam prasasti tertulis tahun dibangunnya masjid, mereka adalah H Muhammad Ali, H Muhammad Asyari Akhwan, H Muhammad Yakub, Alhadi Ahmad, H Muhammad Nur dan H Yakub. Masjid ini dulunya hampir semuanya di kelilingi makam, beberapa sudah dipindah dan yang masih ada tetap dirawat, karena makam yang ada di depan masjid ini merupakan keturunan dari Nabi Muhammad Saw, yakni Syarifah Fatimah binti Syekh Abu Bakar,'' tuturnya.
Mbah Idris, sapaan karab KH Idris Muhammad juga menjelaskan, selain bangunan asli dan makam, di sebelah kiri dan depan serambi juga berdiri pohon Bidara yang berumur 100 tahun lebih. Oleh masyarakat sekitar, daun bidara yang dicampur dengan air itu, sering digunakan untuk memandikan jenazah.
''Anak kecil yang terkena cacingan, diberi buah bidara pun bisa sembuh. Bahkan untuk penyakit lainnya. Maka tidak heran, dari mulut ke mulut, warga baik dari Semarang maupun luar daerah sering datang kesini untuk meminta buah atau daunnya,'' papar warga Jl Petolongan No 1 RT 1 RW 4 itu.
Karena dianggap mujarab, tidak sedikit masyarakat yang ingin membuat bibit dengan cara mencangkok. Namun, ketika dibawa pulang ke rumah dan ditanam, pohon itu tidak tumbuh. ''Pak H Soemarmo saja pernah datang dan mencangkok pohon itu, tapi saat ditanam kembali tidak bisa tumbuh,'' tandas bapak tujuh putra dan 22 cucu itu.
Pengurus Takmir Masjid Jami Pekojan, H Ngatiman menambahkan, saat ini salah satu masjid tua di Semarang itu telah mengalami banyak renovasi, terakhir kali masjid itu direnovasi secara besar-besaran pada 1975-1980. Menurut dia, ada kekhasan yang dihafal masyarakat Semarang dan sekitarnya mengenal Masjid Jami Pekojan saat bulan ramadan seperti saat ini, yakni takjil Bubur India. Biasanya masyarakat datang mendatangi masjid ini saat ramadan pada sore hari sekitar pukul 16.30.
''Selain bubur India,  ada banyak kegiatan yang diadakan takmir masjid untuk mengisi kegiatan Ramadan. Ada pengajian jelang berbuka puasa, tadarus Alquran, empat atau tiga hari sekali ada ceramah dari imam masjid,'' katanya, kemarin. (KS)

Comments