"Marbot" Masjid Agung Semarang, H Abdus Salam Alhafidz

Penjaga masjid merupakan salah satu pekerjaan dari sekian perkerjaan yang ada di dunia, dengan tugas untuk menjaga dan mengurusi masjid, mereka juga memiliki pengalaman dan cerita yang mewarnai kehidupan mereka sebagai penjaga masjid.

RAMADHAN, indentik dengan kegiatan umat Islam untuk memperbanyak ibadah. Terlebih bagi para penjaga masjid besar yang banyak dikunjungi masyarakat. Pada ramadan ini, pekerjaan mereka pun bertambah banyak.
Marbot masjid oleh banyak kalangan diartikan sebagai penjaga masjid atau seseorang yang ditugaskan untuk menjaga kebersihan masjid dan juga sekaligus menjadi penanggungjawab segala ritual ibadah di masjid seperti adzan lima waktu, menjadi imam cadangan, dan juga khatib cadangan.
Belum lagi tugas tugas teknis lainnnya seperti bertanggungjawab atas kebersihan dan kerapian masjid. Tugas Marbot ini sungguh begitu berat karena harus stand by 24 jam mengurusi segala kegiatan di masjid.
Salahsatunya seperti yang dilakukan H Abdus Salam Alhafidz (59), warga kelahiran Desa Sukorame, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur sejak 1978. Datang ke Semarang pertama kali, niat awalnya pun nyantri di Kauman untuk menghafal Alquran menyusul sang kakak.
Suatu ketika, saat memasuki waktu shalat, Salam, sapaan akrab Abdus Salam pun menuju Masjid Agung Semarang atau yang biasa disebut Masjid Kauman. Karena tidak ada muadzin, Salam pun langsung mengambil microphone dan melantunkan adzan.
''Karena suara saya dianggap bagus, saya pun diminta oleh takmir masjid untuk menjadi muadzin. Padahal, saya sendiri memiliki tanggungan untuk menghafal Alquran. Tawaran pun saya ambil, sekaligus saya dipasrahi untuk menjadi penjaga masjid,'' tuturnya.
Saat ditemui di asrama imam masjid, bapak tiga anak itu pun menjelaskan, selain adzan, tugas yang harus dilakukan di masjid yang memiliki sejarah panjang itu pada ramadan hampir 24 jam. Setelah sahur, harus menyiapkan "uba rampe" terkait salat jamaah Subuh, pengajian bakda Subuh.
Kemudian, istirahat hingga sebelum Dhuhur. Paska salat Dhuhur, pengajian rutin yang selalu digelar di masjid pun ia siapkan. Termasuk mengatur jamaah agar duduk teratur ketika mengikuti pengajian. Menjelang Maghrib, menyiapkan takjil untuk dibagikan kepada para jamaah.
Pada malam hari, selain salat wajib, juga ada salat tarawih, tadarusan dan berbagai aktivitas lain di malam hari. Ibadah tersebut, belum termasuk dengan yang dilakukannya sendiri. Demikian secara terus menerus berlangsung.
''Tetapi, sejak 10 tahun yang lalu, saya tidak bisa mengumandangkan adzan lagi, karena suara saya hilang. Tugas saya pun kemudian menjadi imam dan cadangan imam serta tetap menjadi koordinator muadzin. Dan Alhamdulillah, pada 2005 lalu, diberangkatkan haji,'' ujarnya.
Karena hampir seluruh waktunya berada di masjid, Salam pun tinggal di asrama yang ada di lantai dua Masjid Kauman. Untuk menengok keluarganya di Trenggalek, hanya Salam lakukan setahun sekali ketika Idul Fitri.
Ketika ditanya apakah ada protes dari keluarga, Salam pun menegaskan, karena pekerjaannya adalah ibadah, keluarganya pun tidak ada satu pun yang membantahnya, justru mendukungnya dan ikhlas. Apa yang dilakukan karena niat ibadah, Salam pun mengaku tidak pernah merasa ada duka dalam pekerjaannya.
''Kalau soal honor, Alhamdulillah cukup. Saya juga nyambi jualan minyak dan mengajar ngaji privat di kampung-kampung sekitar Kauman. Menjadi marbot bukan niatan kerja, tapi ibadah, hidup pun menjadi ikhlas'' katanya. (KS)

Comments