Jembatan Wotgandul, Dibuat dari Bambu, Pernah Hanyut Diterjang Banjir

LALU lintas dari Jalan Wotgandul Timur menuju Jalan Plampitan, atau dari Jalan Wotgandul Barat menuju Jalan Wotgandul Timur seolah tak pernah berhenti melintas di atas jembatan dengan lebar delapan meter dan panjang 14 meter itu.
Tak hanya roda dua, kendaraan roda empat atau lebih hingga becak sejak pagi hingga petang terus saja melintas. Jembatan Wotgandul, demikian masyarakat menyebut jembatan yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah H Ismail pada Sabtu 19 Mei 1990.
Masa kecil Suparno (63) bapak tujuh anak dan tiga cucu yang setiap hari menanti penumpang di atas becaknya di sudut Kampung Wotgandul Timur atau sisi selatan jembatan menjadi kenangan yang tak pernah terlupakan.
Dahulu, kata dia, warga daerah Kauman, atau Kranggan yang pergi ke Dusun Brumbungan, harus mengambil jalan dari sisi timur melintasi rumah Kapiten Tan Lik Sing. Karena memakan waktu yang lama, warga pun membuat jembatan kecil di sungai sebelah barat dengan potongan bambu.
''Karena terseret banjir, warga pun membangun jembatan lebih tinggi dan di kedua tepinya dipasang dua buah tiang untuk mengikat bambu. Sementara di sampingnya dibuat pegangan untuk memudahkan orang lewat. Ketika melintasi, jembatan itu pun bergoyang. Karena gemandul (tergantung), masyarakat pun menamakan wowotan (jembatan) gemandul dan disingkat menjadi Wotgandul,'' tuturnya.
Seperti yang tertulis dalam buku Riwayat Semarang yang ditulis oleh Liem Thian Joe, asal mula nama Wotgandul merupakan istilah masyarakat yang menyebut jembatan gantung dan bergoyang ketika dilintasi dengan sebutan Wotgandul. Karena jembatan itu semakin ramai dan menjadi akses utama masyarakat, Pemerintah Kota Semarang pun kemudian membongkar jembatan dan melakukan normalisasi sungai pada 1973.
''Rumah saya pun tergusur, dan warga di Kampung Stal direlokasi ke Karangroto. Tetapi, sampai hari ini, saya masih bekerja di wilayah ini sebagai tukang becak. Karena disini sekarang tambah ramai,'' ujarnya.
Darmono (57) yang sebelumnya merupakan warga Kampung Stal dan kini juga telah pindah ke Karangroto menambahkan, pelebaran sungai dan jembatan dilakukan dua kali oleh pemerintah, pada 1973 dan awal 1989. ''Dulu lebarnya sekitar lima meter, dan dilebarkan lagi menjadi delapan meter pada 1989 kemudian diresmikan Pak Ismail yang saat itu menjabat sebagai gubernur pada 1990. Ketika mobil papasan, bisa lancar. Pengendara sepeda motor maupun mobil dari Wotgandul Barat ataupun dari Kawasan Pecinan yang ingin ke Jl Gajahmada biasanya memilih lewat jembatan ini menghindari kemacetan di Kranggan,'' tutur bapak dua anak itu. (KS)

Comments