Jembatan Berok Jadi Penghubung Strata Sosial dan Budaya yang Berbeda

LALU lalang kendaraan dari Jalan Imam Bonjol, Jalan Pemuda menuju Jalan Mpu Tantular Kawasan Kota Lama, Rabu (9/4) sejak pagi hingga sore tidaklah ramai seperti hari-hari biasanya. Karena bertepatan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, beberapa kantor dan perusahaan meliburkan karyawannya. Masyarakat pun lebih banyak memilih beraktifitas di rumah usai memberikan suara. Sebagian lagi sibuk memantau perolehan suara di tempat pemungutan suara (TPS) di daerahnya.
Kemeriahan kendaraan yang melintasi jembatan dengan pagar besi berwarna merah dan aktifitas jual-beli barang bekas di tepi Kali Semarang pun nampak sepi. Sementara itu, angkutan kota berwarna oranye tampak berjajar keluar dari Jalan Kepodang. Tiga tukang becak nampak terlelap di atas becaknya yang diparkir tepat di ujung jembatan yang menghubungkan Kota Lama, Jalan Mpu Tantular, dan Jalan Pemuda.
Jembatan Berok, begitulah masyarakat biasa menyebut jembatan yang berada persis di jantung ekonomi tradisional Semarang Pasar Johar yang menghubungkan antara Kota Lama Semarang dan Kota modern Semarang saat ini.
Kata Berok sebenarnya merupakan nama jembatan yang berasal dari bahasa Belanda, dalam pelafalan lidah Belanda disebut gouvernementsburg atau sociteisburg yang berfungsi sebagai penghubung Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda) dengan Benteng Vijhoek. Tiang jembatan mirip dengan tiang Taman Polder Tawang. Sementara, pagar jembatan terbuat dari besi tegak lurus dengan motif bunga. Karena kebanyakan orang Jawa sulit untuk melafalkan dalam bahasa Belanda maka kemudian lamakelamaan kata Burg berubah menjadi Berok atau Mberok.
Jembatan berjajar itu mengubungkan aktivitas masyarakat Semarang yang terdapat di Jalan Pemuda-Kota Lama, area Pasar Johar, dan Jalan Layur berdekatan dengan Masjid Menara Kampung Melayu. Di sebelah barat jembatan berdiri megah Gedung Kas Negara. Sisi timur jembatan, salah satu bangunan tua di Kota Lama yang kini digunakan sebagai kantor Bank Mandiri dan PT Pelni.
Sesepuh Kampung Pandansari, Haryanto (64) menuturkan, jembatan yang berfungsi untuk menghubungkan Kota Lama atau Oud Standt dipagari benteng berbentuk segi lima (Benteng Vijfhoek). Bagian kota itu dibuat oleh almarhum sang kakek yang bernama Karjono atau pada masa Belanda dikenal dengan sebutan Pak Jantut sekitar tahun 1700-an.
''Kalau menurut cerita sesepuh dulu, Kali Mberok di era kejayaannya menjadi saksi bisu kemeriahan ekonomi Semarang tempo dulu. Di kali ini juga menghubungkan antara strata sosial budaya berbeda menjadi satu kawasan yang seperti ini. Kala itu, Kali Semarang masih sangat berperan dengan transportasi sungainya, yakni dalam membawa kebutuhan sehari-hari dan barang dagangan dari luar Semarang. Tapi sekarang justru menjadi ancaman ketika airnya meluap, karena membanjiri kampung-kampung yang dilintasi,'' tuturnya.
Meskipun bukan sebagai tempat melancong, keberadaan jembatan Berok tidak bisa dipisahkan begitu saja dari tempat yang menarik seperti Kawasan Kota Lama Semarang, Masjid Besar Kauman, Masjid Menara Jalan Layur, Pasar Tradisonal terbesar di Kota Semarang Pasar Johar, kawasan pecinan, dan Stasiun Tawang beserta polder. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa kawasan yang dilewati Kali Mberok merupakan kawasan terpenting dari cikal bakal Semarang tempo dulu.
''Kakek saya yang membuat teralis dan kaki-kaki yang hingga sekarang masih kokoh. Karena berhasil membuat jembatan itu dengan baik, Pemerintah Belanda memberi hadiah kepada kakek saya berupa kereta kencana lengkap dengan dua kuda,” tutur bapak dua anak yang juga warga Jl Pandansari I RT 5 RW 2, Kelurahan Pandansari, Kecamatan Semarang Tengah. (KS)

Comments