Jejak Masjid Agung Demak, Dari Pesan Ibadah hingga Kunci Hidup Bermasyarakat

MASJID, dalam Bahasa Arab, berasal dari kata sajada yang artinya bersujud, namun, kata masjid tidak murni berasal dari bentukan kata sajada. Dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab), bentuk maf’al (tempat melakukan perbuatan) dari kata sajada adalah masjadun, yang berarti tempat sujud.
Kata sajadah dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai alas sholat. Kata ini berasal dari Bahasa Arab, sajjaadatun yang merupakan kata benda tunggal dalam bahasa Arab, dan bentuk jamaknya sajaajid, yang artinya tempat sujud.
Lepas dari asal kata, sejak jaman dahulu, masjid tak hanya digunakan sebagai tempat shalat saja. Akan tetapi menjadi tempat bermusyawarah membahas persoalan sosial kemasyarakatan, ibadah, pendidikan, kegiatan masyarakat dan dakwah.
Seperti yang dilakukan oleh Raden Patah, sultan pertama Kesultanan Demak yang mendirikan masjid sebagai basis berkumpulnya Wali Songo dalam rangka menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Masjid yang dibangun pada 1466 itu merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro.
Banyak masyarakat memercayai masjid  ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.
Dari beragam sumber, Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap. Sebelum dibangun menjadi masjid pada 1466, masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di bawah asuhan Sunan Ampel. Pada 1477, masjid dibangun  kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Kemudian, pada 1478, saat Raden Fatah diangkat sebagai Sultan I Demak, masjid direnovasi dengan penambahan tiga trap. Raden Fatah bersama Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini dan dibantu masyarakat sekitar.
Para wali saling membagi tugasnya masing-masing dan menggarap soko guru yang menjadi tiang utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru. Mereka adalah Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian Barat Laut, Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian Timur Laut, Sunan Ampel  membuat soko guru di bagian Tenggara, dan Sunan Gunung Jati membuat soko guru di sebelah Barat Daya.
Masjid Agung Demak juga memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Dengan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki membuat masjid ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah.
Atap limas bersusun tiga itu memiliki bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya, iman, Islam, dan ihsan. Lima  buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, bermakna lima rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Sementara itu, enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya  kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari  kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Pengurus Takmir Masjid Agung Demak Kuswinarno menjelaskan, pada pintu masuk utama terdapat "Pintu Bledheg", pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir itu merupakan ciptaan Ki Ageng Selo. Peninggalan itu merupakan prasasti "Condro Sengkolo" yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H. Mihrab atau tempat pengimaman, terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti "Condro Sengkolo".
''Prasasti ini memiliki arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit,'' tuturnya.

Dijelaskan pula, diatas mimbar juga terdapat ukiran yang dimaknai sebagai simbol unsur sifat kehidupan, air, bumi, api, matahari, angin, petir, bulan dan bintang. Pesan yang terkandung, kata Kuswinarno, pemimpin atau manusia sejatinya harus menjadi pijakan dan pemaaf terhadap kesalahan, jangan hanya melipat tangan, tapi juga harus ikut menyisingkan lengan baju, menjadi penenang, penentram, penegak hukum yang jurdil, menjauhkan watak emban cindhe emban siladan, menjadi suri tauladan dan penunjuk bagi rakyatnya serta menjauhkan perasaan adigang adigung adiguna, serta memiliki sifat tegar terhadap pendiriannya.
Ketua Umum Takmir Masjid Agung Demak KH Mohammad Asyiq juga menuturkan, jejak Walisongo yang hingga kini masih dilestarikan diantaranya, perayaan Grebeg Besar yang berlangsung setiap 10 Dzulhijah saat Idul Adha. Perayaan itu selalu dimeriahkan dengan karnaval kirap budaya yang dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak hingga ke Makam Sunan Kalijaga yang terletak di Desa Kadilangu, yang menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer.
''Prosesi lainnya, ziarah ke makam sultan-sultan Demak, Sunan Kalijaga, Pasar Malam Rakyat di Tembiring Jogo Indah, Selamatan Tumpeng Sanga, shalat Idul Adha, Kirab Budaya dan penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga (Kutang Ontokusuma dan Keris Kyai Crubuk),'' tutur mantan Wakil Bupati Demak itu.
Ditambahkan, selain perayaan, ajaran kehidupan para Wali Songo hingga kini juga terus ditanamkan kepada seluruh masyarakat adalah keutamaan menjungnjung kebersamaan dan perdamaian.
Kiai Asyiq, sapaan KH Muhammad Asyiq, mencontohkan, beberapa bentuk kebersamaan di dalam masyarakat yang hingga kini masih dilestarikan diantaranya dengan tahlilan dan menghormati warga Hindu dengan tidak menyembelih sapi. (KS)

Comments