Gedung Sekolah Sarekat Islam, Jadi Saksi Pergerakan Pemuda di Semarang

SEMARANG dikenal sebagai kota yang sejak dahulu menjadi basis pergerakan, pemberontakan, sekaligus perlawanan. Pasalnya, Semarang merupakan salah satu sentral kekuatan kolonial Belanda dalam berbagai industri, mulai dari perkapalan, kereta api, sampai perkebunan.
Oleh sebab itu, Semarang merupakan wilayah ideal dalam perkembangan pergerakan nasional untuk menentang pihak penjajah. Mulai dari berdirinya organisasi-organisasi politik pergerakan sampai sekolah-sekolah berbasis pergerakan.
Gerakan itu menurut pakar sejarah Kota Semarang yang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip Dewi Yuliati karena kondisi masyarakat yang telah secara tidak langsung tergusur dari pekerjaan aslinya dari petani menjadi buruh. Pasalnya, masuknya kolonial telah mengubah lahan-lahan yang sebelumnya digarap warga menjadi perkebunan.
''Kesenjangan sosial pun muncul, akhirnya masyarakat pergi ke kota dan bekerja sebagai buruh. Masyarakat industrial pun terwujud secara tidak langsung,'' tuturnya.
Salah satu sekolah yang berperan penting dalam proses pergerakan nasional di Semarang adalah Sekolah Sarekat Islam (SI). Konsep pendidikan kerakyatan menjadi kurikulum di sekolah ini.
Sekolah SI juga memegang peran penting dalam proses pergerakan nasional terutama dalam hal pendidikan progresif dan revolusioner. Hal ini tak lepas dari sistem pendidikannya yang bersifat propagandais serta cenderung membela kaum-kaum tertindas.
Dari segi kualitas dan kuantitas sekolah ini tak dapat dipandang sebelah mata mengenai kontribusinya terhadap pergerakan nasional yang berbasis di Semarang.
Tan Malaka dan Semaoen menjadi tokoh yang dianggap paling berpengaruh terhadap perkembangan sekolah rakyat ini.
''Di Semarang sendiri pernah terjadi gelombang industrialisasi yang pesat, sehingga memunculkan banyak buruh yang menjadi pekerja di berbagai perusahaan. Buruh-buruh inilah yang menjadi pendukung sekaligus subjek pergerakan SI di bawah pimpinan Semaoen,'' paparnya.
Naiknya Semaoen menjadi presiden SI di Semarang juga telah mengubah paradigma pergerakan SI. Semula SI yang hanya fokus pada pergerakan kaum menengah, kemudian berkembang pada gerakan untuk rakyat kecil, sehingga paradigma perjuangan lebih bersifat radikal.
''SI pun dalam konteks lokal, menjadi perumus semua gerakan yang ada di seluruh Indonesia. Mulai dari adanya pegadaian, gerakan melawan kolonialisme, politik dan industri,'' tandasnya.
Sekolah ini menurutnya juga tidak semata-mata memperjuangkan segi intelektual bagi para peserta didiknya, tapi jauh dari itu Sekolah SI juga mendidik agar peserta didik peka sosial dan tidak lupa akan nasib kaum kromo. Kepekaan sosial, rasa solidaritas tinggi, menolak kemapanan dan semangat pantang menyerah merupakan sikap-sikap yang ditekankan di sekolah ini.
Dan kini, gedung SI tempat sekolah itu berada telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi melalui SK Nomor 640/184/14 tertanggal 27 Februari 2014. Gedung itu pun kini juga telah dipugar karena nyaris roboh.
Kebijakan terhadap gedung bekas kantor Sarekat Islam dan pernah menjadi tempat tempat Tan Malaka mengajar di Jalan Gendong Selatan Nomor 1144, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur itu mengacu rekomendasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan tim ahli cagar budaya Kota Semarang pada 30 Januari 2014. (KS)

Comments