Ada pemikir kondang, namanya Ghofar ibnu Syu’aib bin Harits bin Nu’man bin Tufa’il bin Abdullah. Dia dikenal dengan panggilan Ibnu. Meskipun dalam setiap Curriculum Vitae (Biodata) ceramah dan biografi singkat yang ia tulis dalam buku-bukunya, selalu ia cantumkan nama lengkapnya, untuk panggilan dia hanya Ibnu saja. Buku-buku dan artikelnya yang mula-mula bertema Biologi. Tentang kegemarannya semula kepada Biologi, sebelum berpindah ke pemikir (spesialis) kata-kata, ada ceritanya sendiri.
Sewaktu kecil di selalu dibuat terpesona oleh Laron. Suatu hari hujan turun amat derasnya hingga sore. Lampu minyak dari petromak dikerubungi Laron-laron yang keluar dari liang. Ibnu menangkapi satu per satu Laron itu, sampai dia mendapati satu yang paling besar luput dari tangkapannya dan keluar menuju gelap. Rasa penasaran dan girang membawanya mengejar Laron itu. Menjelang Isya’, keluarganya yang Jawa tulen dan tetangganya pada ribut, Ibnu hilang digondhol Wewe. Selepas Isya’, seorang pemilik warung di perbatasan desa mengantarkan Ibnu. Di tangannya, seekor Laron besar digenggam erat-erat.
Orang tuanya berasal dari keluarga santri. Konon kakek dari canggahnya adalah salah seorang penyebar Islam di Jawa. Tapi dari silsilah yang masih utuh bisa didapati Ibnu, tak satupun buku sejarah yang menyebut nama keluarganya. Tak ada Wali, atau bahkan cantrik dari Wali yang namanya sama dengan salah seorang kakek dari kakek dan atasnya kakek Ibnu. Orang-orang bilang, moyangnya berasal dari Yaman. Tapi tak ada unsur Yaman apapun dari dirinya yang mirip dengan orang Timur-Tengah bagian manapun – kecuali satu, menurut ukuran Ibnu, kemaluannya tergolong besar.
Ibunyalah yang mengarahkan Ibnu untuk menyukai Biologi. Jadilah Ibnu menjadi salah satu penghafal nomenklatur binomial yang fasih. Dia tahu di luar kepala istilah latin bagi Laron atau kutu busuk. Dia juga tahu istilah latin rumput teki, enceng gondok, ketela rambat hingga pohon beringin. Bukan hanya hafal, tapi dia juga tahu mengapa dari proses reproduksi bisa keluar manusia laki-laki atau perempuan atau dan/atau. Ibnu juga bisa menjelaskan dengan fasih kemungkinan di Venus ada makhluk hidup dan bahwa di inti bumi ada mikroba yang bisa hidup.
Tapi panggilannya yang hanya Ibnu (bukan Ghofar, Syu’aib, Nu’man, Harist, Tufa’il atau Abdullah) sungguh-sungguh tak membuatnya habis pikir. Ibnu stress. Dia tidak bisa protes. Pernah sekali dia protes, orang-orang tertawa: ” ...yang paling utama dari namamu itu, Ibnu, adalah kata sambung yang bermakna paling jelas: Ibnu... lainnya itu, hanya payungmu...”. Ibnu tidak terima. Sejak saat itu, dia mengabaikan menulis buku Biologi. Dia beralih menjadi pemikir nama dan kata-kata.
Sewaktu kecil di selalu dibuat terpesona oleh Laron. Suatu hari hujan turun amat derasnya hingga sore. Lampu minyak dari petromak dikerubungi Laron-laron yang keluar dari liang. Ibnu menangkapi satu per satu Laron itu, sampai dia mendapati satu yang paling besar luput dari tangkapannya dan keluar menuju gelap. Rasa penasaran dan girang membawanya mengejar Laron itu. Menjelang Isya’, keluarganya yang Jawa tulen dan tetangganya pada ribut, Ibnu hilang digondhol Wewe. Selepas Isya’, seorang pemilik warung di perbatasan desa mengantarkan Ibnu. Di tangannya, seekor Laron besar digenggam erat-erat.
Orang tuanya berasal dari keluarga santri. Konon kakek dari canggahnya adalah salah seorang penyebar Islam di Jawa. Tapi dari silsilah yang masih utuh bisa didapati Ibnu, tak satupun buku sejarah yang menyebut nama keluarganya. Tak ada Wali, atau bahkan cantrik dari Wali yang namanya sama dengan salah seorang kakek dari kakek dan atasnya kakek Ibnu. Orang-orang bilang, moyangnya berasal dari Yaman. Tapi tak ada unsur Yaman apapun dari dirinya yang mirip dengan orang Timur-Tengah bagian manapun – kecuali satu, menurut ukuran Ibnu, kemaluannya tergolong besar.
Ibunyalah yang mengarahkan Ibnu untuk menyukai Biologi. Jadilah Ibnu menjadi salah satu penghafal nomenklatur binomial yang fasih. Dia tahu di luar kepala istilah latin bagi Laron atau kutu busuk. Dia juga tahu istilah latin rumput teki, enceng gondok, ketela rambat hingga pohon beringin. Bukan hanya hafal, tapi dia juga tahu mengapa dari proses reproduksi bisa keluar manusia laki-laki atau perempuan atau dan/atau. Ibnu juga bisa menjelaskan dengan fasih kemungkinan di Venus ada makhluk hidup dan bahwa di inti bumi ada mikroba yang bisa hidup.
Tapi panggilannya yang hanya Ibnu (bukan Ghofar, Syu’aib, Nu’man, Harist, Tufa’il atau Abdullah) sungguh-sungguh tak membuatnya habis pikir. Ibnu stress. Dia tidak bisa protes. Pernah sekali dia protes, orang-orang tertawa: ” ...yang paling utama dari namamu itu, Ibnu, adalah kata sambung yang bermakna paling jelas: Ibnu... lainnya itu, hanya payungmu...”. Ibnu tidak terima. Sejak saat itu, dia mengabaikan menulis buku Biologi. Dia beralih menjadi pemikir nama dan kata-kata.
[belum selesai...]
Comments
Post a Comment