Kehidupan Kaum Syiah di Semarang

Pendam Perbedaan, Menjunjung Tinggi Kerukunan dan Saling Menghormati

SUARA azan Dhuhur berkumandang dari pengeras suara berwarna putih yang diletakkan di atas tembok pintu masuk Mushala Al Khusainiyyah Nuruts Tsaqolain yang ada di Jalan Boom Lama Nomor 2, Kelurahan Kuningan, Kecamatan Semarang Utara.
Lantunan azan juga melantun dari pengeras suara masjid-masjid yang ada di kampung itu. Suasana siang begitu terik. Beberapa warga nampak keluar dari rumah sambil membawa peralatan shalat. Seorang lelaki bersarung kotak-kotak hijau dengan baju kotak-kotak coklat hitam tanpa peci pun keluar dari mushala untuk mengambil air wudhu.
Sapaan salam pun dijawab, bapak lima anak itu pun berkenan untuk diajak berbincang. Mulyono (58), lelaki yang tinggal di Kampung Lawangireng RT 9 RW 1 Kelurahan Kuningan, Semarang Utara itu pun menceritakan sejarah singkat penganut Syiah di Kota Semarang.
''Kalau yang pertama kali mengaku sebagai penganut Syiah di Jawa Tengah adalah pimpinan Pondok Pesantren Al Qairat Bangsri Jepara, Habib Abdul Kadir Bafaqih. Kalau saya sendiri dulu memang Sunni, tapi setelah bertemu dengan tokoh Syiah dan mengkaji kitab-kitab ulama Syiah, baru saya ikut. Ada pemahaman yang kemudian sesuai dengan pikiran dan hati nurani saya,'' tutur Mulyono.
Mulyono mengaku dalam kehidupan sosial tidak ada masalah dengan warga, baik penganut Sunni, NU, Muhammadiyah atau yang lainnya. Demokrasi yang tumbuh di kampungnya membuat ia dan penganut Syiah lainnya merasa nyaman. Kegiatan pengajian rutin tiap malam Jumat dan malam Selasa seperti pembacaan doa Nabi Khidir yang diajarkan Imam Ali kepada muridnya bernama Kumail, maupun mengkaji kitab-kitab ulama Syiah pun selama ini berjalan lancar.
''Kalau Minggu sore, jamaahnya ibu-ibu. Shalat berjamaah lima waktu juga berjalan seperti mushala dan masjid lainnya, hanya kalau Maghrib dan Subuh saja yang mencapai dua shaf,'' jelasnya.
Mulyono juga menceritakan, Yayasan Nuruts Tsaqolain terbentuk bersama dengan berdirinya Mushala Al Khusainiyyah Nuruts Tsaqolain pada 1984 untuk mewadahi para penganut Syiah di Kota Semarang, khususnya di Kecamatan Semarang Utara. Hingga kini, jamaah Syiah di Kota Semarang pun semakin banyak seperti di Panggung Lor, Ngemplak Simongan, Bulu dan Pedurungan. Mereka juga bernaung dalam sebuah jamaah. ''Kalau di Panggung Lor, ada Al Hajat, di Ngemplak ada Al Murtadho,'' ungkap Mulyono.
Lalu, bagaimana dengan kehidupan sosial sehari-hari? Idrus Al Jufri (51), sesepuh Kampung Lawangireng mengaku jika kehidupan warga selama ini tidak ada masalah. Menurut lelaki keturunan Arab itu, umat Islam hanya menganut pedoman yang berasal dari Alquran dan Hadits.
''Soal ajaran, dalam Alquran sudah jelas disebutkan, lakum diinukum waliyadin, untukmu agamamu, untukku agamaku. Di kampung ini kita sama-sama menjunjung tinggi kerukunan, saling menghormati dan memendam dalam-dalam perbedaan,'' jelasnya.
Hal senada juga diakui oleh Endang Wahyuni (43). Ibu dua putra yang tinggal disamping mushala itu pun mengakui jika kerukunan antar warga tidak pernah mengenal latar belakang ekonomi maupun agama. Kehidupan yang rukun dan saling menghormati, dijunjung dan dilaksanakan semua warga. *

Comments