Kampung Kalengan

Menjadi Pusat Produksi Kerajinan dari Kaleng

JANGAN kaget, ketika anda melintas di kampung yang ada di tepi sungai Banjir Kanal Timur ini tiba-tiba mendengar suara drum jatuh atau suara palu beradu dengan lempengan besi dengan irama yang tak beraturan dan memekakkan telinga.
Itulah ciri khas dari kampung yang dahulu menjadi sentra penjualan dan kerajinan mainan anak-anak saat dugderan pada 1960-an. Sejak beberapa tahun, perayaan menyambut ramadan dipusatkan di Pasar Johar, Jalan Agus Salim, Kauman dan sebagian Jalan Imam Bonjol.
Ya, Kampung Bugangan, kini lebih dikenal dengan nama Kampung Kalengan. Mengapa? Kampung yang ada di sepanjang Jalan Barito Raya, Kelurahan Bugangan, Kecamatan Semarang Timur itu kini menjadi usaha pembuatan beragam alat masak, seperti dandang, oven, cerobong berbahan dasar plat aluminium, stainless steel dan galfalo.
Ahmad Afandi (29), pemilik kios Rante Mas, generasi ketiga dari almarhum Kasmani menuturkan, usaha yang kini dikembangkan oleh dirinya dan enam saudaranya itu kini menjadi besar dan dikenal tak hanya warga Kota Semarang.
''Dandang dan produk lainnya seperti panci, oven, cetakan roti, kotak surat hingga ventilator udara, sudah kami jual hingga Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang, Salatiga, Demak, dan Purwodadi,'' tuturnya.
Dikisahkan, sebelum menjadi sentra produksi peralatan memasak, kakeknya almarhum Kasmani ketika itu hanya membuat mainan alat masak untuk anak-anak setiap Dugderan. Tawaran untuk membuat alat masak yang sesungguhnya, datang beberapa waktu setelah rutinitas berjualan di arena Dugderan selesai. Karena kekurangan tenaga setelah menerima banyak pesanan, akhirnya Kasmani mengajak saudaranya untuk membantu, termasuk ayahnya, Kasmiran (58).
Saat ini, dibantu empat saudaranya, Afandi mampu memproduksi sekitar 9 dandang besar, atau 12 buah untuk ukuran yang lebih kecil. Proses pembuatan dimulai dari sebuah lembaran aluminium. Semua dilakukan dengan proses manual, hanya dengan menggunakan tangan. Alat bantu yang digunakan juga sederhana, seperti gunting besi dan alat pembengkok besi. Untuk menciptakan sebuah bentuk dari lempeng alumunium, para pegawai memukul-mukul lempengan dengan alat tukang sederhana.
''Untuk menyatukan lempengan menjadi bentuk utuh dilakukan dengan dipukul-pukul sampai pipih, tanpa las atau lem khusus,'' katanya.
Untuk dandang dengan ukuran tinggi 60 sentimeter, Afandi mematok harga Rp 200 ribu, sedangkan ukuran besar dipatok harga Rp 750 ribu. Untuk oven ukuran kecil dipatok Rp 750 ribu, ukuran sedang Rp 1.350.000, dan ukuran besar Rp 4 juta.
Afandi juga menerima reparasi peralatan aluminium yang rusak. Untuk ongkos servis, tergantung ketebalan. Kalau lempengannya tipis, mulai Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Kalau tebal, Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Omzet per harinya, kata dia, berkisar antara Rp 200 ribu dan Rp 600 ribu.
Selain berhasil menghidupi saudaranya, usaha itu juga membuat Sutoho (45), saudara Afandi, bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, sejak dirinya menjadi karyawan di tempat itu 20 tahun lalu.
Menurut Afandi, selama enam tahun meneruskan usaha kakeknya agar berjalan lancar, dirinya menerapkan prinsip kedisiplinan, kejujuran, dan tanggung jawab baik kepada dirinya, maupun kepada karyawannya.
''Banyak saudara yang kemudian juga membuka usaha pembuatan dandang dan alat masak lainnya. Beberapa pendatang juga membuaka usaha pembuatan tong sampah dan aneka produk berbahan kaleng. Sehingga, kampung ini lebih dikenal dengan Kampung Kalengan ketimbang Bugangan,'' ungkap Afandi. *

Comments