Hardi Wiyono, 30 Tahun Membuat dan Jualan Gangsingan

Tak Pernah Terpengaruh Permainan Moderen

NGUUUUUUUNGGGGGG.... Suara gangsing atau gangsingan berputar di atas meja sederhana di tengah deretan permainan tradisional lainnya. Alat permainan tradisional berbahan dasar potongan bambu yang ujung bambu ditutup dengan bulatan kayu itu terus berputar. 
Ditengah bulatan kayu terdapat sumbu berbentuk stik yang menembus di tengah dan lebih panjang dari potongan bambu utama yang ditengahnya dilubangi seperti kentongan. Besar kecilnya lubang, berpengaruh terhadap bunyi yang dihasilkan.
Untuk memainkan, pertama-tama masukkan ujung tali dalam lobang korekan, kemudian lilitkan tali tersebut ke sumbu gangsingan sebelah atas yang lebih panjang. Pegang korekan dengan tangan kiri, tarik tali kuat-kuat dengan tangan kanan, dan gangsingan akan lepas, berputar dengan cepat dan menghasilkan bunyi nguuuung.....
Dan, itulah cara Hardi Wiyono (55) bapak lima anak warga Desa Kepek RT 1 RW 5 Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta menawarkan dagangannya di arena dugderan samping Hotel Metro Jalan Agus Salim.
Selain berjualan, Hardi juga menjadi salah satu dari seribuan perajin gangsingan, akar wangi dan seruling bambu yang ada di Desa Kepek yang telah 30 tahunan lebih mengalami suka dan duka menjadi perajin sekaligus penjual.
''Meski banyak permainan moderen merebak di tengah masyarakat, minat terhadap permainan tradisional gangsingan tetap tinggi. Setiap hari saya membuat 50 gangsingan. Khusus dugderan ini, saya membawa 1000 gangsingan. Tahun lalu, habis terjual hingga 7000 buah,'' tuturnya.
Gangsingan berukuran kecil ia jual Rp 5.000, ukuran besar Rp 6.000 per buahnya. Tak hanya saat dugderan saja, ketika tidak ada event pameran, ia menjajakan hasil kerajinannya itu berkeliling jalan kaki di Pulau Dewata.
Profesi itu juga diteruskan oleh dua anaknya, Widada (26) dan Partiman (30) yang juga ikut menggelar dagangannya di arena dugderan. Lapak untuk berjualan pun tidak berdampingan.
Saat ditemui, Widada, bapak satu anak itu mengaku sudah empat tahun membuat gangsingan dan aktif mengikuti pameran yang bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul. Pada hari pertama dugderan, alumni SMAN 2 Wonosari 2004 itu mengaku tidak seramai tahun lalu.
''Pada dugderan 2011, hari pertama uang Rp 1 juta lebih masuk kantong. Tadi malam hanya mendapat Rp 500 ribu. Tahun lalu pula, 8000-an gengsingan yang laku,'' ungkapnya.
Widada berharap, pada dugderan kali ini, ia mampu mendapat keuntungan lebih besar daripada tahun lalu. Meski dugderan kali ini sedang musim anak-anak masuk sekolah yang membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Memilih membeli gangsingan dibanding permainan lainnya yang dijual oleh para pedagang dugderan menjadi pilihan Junarto (35) dan Jumadi (32) warga Sekopek, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, kemarin.
''Setiap dugderan, saya selalu membeli gangsingan. Mengingatkan masa kanak-kanak dulu. Biasanya untuk memainkan gangsingan saya tidak sendirian, tetapi bersama teman-teman yang lain untuk diadu. Yang kalah, gangsingannya jatuh,'' ungkap karyawan sebuah perusahaan mebel itu.
Hal senada juga disampaikan Nurhayati (56) warga Kelurahan Wonodri, Kecamatan Semarang Selatan. Siang itu ia memborong 15 gangsingan untuk cucunya. ''Tidak sah kalau ke dugderan tidak membeli gangsingan,'' ujarnya. *

Comments

  1. bangggaaaa nya ini pakde saya , orang pertama yg mencetuskan hal ini di kampungnyaaa

    ReplyDelete

Post a Comment