Nederlandsch-Indische Gas Maatschappij di Jalan Sleko

SEPI dan tak ada aktivitas apapun. Hanya lalu lalang warga dan setiap beberapa menit, terdengar suara kereta api melintas di belakang gedung tua dengan tembok yang bertuliskan ”Anno 1897”.
Itulah pemandangan Nederlandsch- Indische Gas Maatschappij atau pabrik gas di Jalan Sleko Nomor 17 Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara, yang dibangun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Dibandingkan pada 1897 hingga 1980-an, aktivitas produksi gas berbahan dasar batubara masih berjalan. Banyak warga sekitar yang menjadi karyawan, di antaranya Samingan, Syawal, Wahnen, Sugimin, dan Sadimin.
Menurut penuturan Anwari (54) warga Wiroto III Kelurahan Krobokan yang juga anak Sugimin, areal lahan seluas 2.704 meter persegi dan 4.979 meter persegi itu merupakan tempat produksi pengolahan batubara menjadi energi gas.

''Dulu, bahan baku batubara didatangkan dengan kapal dari pelabuhan melalui Kali Semarang dan dengan kereta api. Rel kereta api masih ada, tetapi terpendam tanah urug. Karena, ketika Kali Semarang meluap, kawasan pabrik terendam,'' tutur Anwari yang juga petugas security PT PGN, kemarin. Masih diingat pula oleh Anwari yang sejak kecil tinggal di Kampung Tikung Baru (dulu Baru Tikung).
Ia sering menumpang kereta pengangkut batubara ke pabrik itu bersama ayahnya Sugimin yang dulu bekerja di bagian produksi. Ketika ada proses pembakaran batubara, bau tir pun menyengat sampai di kampungnya karena cerobong asap yang dibangun tidak terlalu tinggi.
Setelah proses pemasakan batubara menjadi tir, gas yang dihasilkan pun ditampung ke dalam dua tangki besar yang ada di belakang gedung Kleine Boom en Uitkijk atau menara Syahbandar dan mess yang ada di sisi timur pabrik. Setelah itu, gas pun disalurkan melalui pipa untuk menerangi kawasan Kota Lama dan jalan-jalan di Kota Semarang saat itu.
''Masa kejayaan pabrik ini sebelum 1980. Untuk mempermudah akses karyawan masuk ke pabrik dari mess agar tidak menyeberang rel, dulu ada terowongan. Karena ada proyek rel ganda, terowongan sudah diurug,'' katanya.
Lama kelamaan, bahan baku batubara pun sulit didapatkan. Untuk tetap bisa memroduksi gas, perusahaan pun menggunakan minyak tanah yang diambil dari Cilacap.
Seiring waktu berjalan, pipa distribusi gas sepanjang 80 kilometer yang melayani lebih dari 2.000 pelanggan rumah tangga serta beberapa pelanggan lain seperti Rumah Sakit Elisabeth, RS Kariadi, RS Telogorejo, dan RS Panti Wiloso pun mengalami banyak kebocoran. Perusahaan pun menghitung, biaya produksi tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan. Akhirnya, diputuskan untuk menghentikan aktifitas produksi dan menutup pabrik itu pada 1980-an.
''Barang-barang pun satu persatu diambil dan tidak tersisa. Yang tersisa kini hanya gedung, dan sisa-sisa bangunan bekas gudang dan tempat memasak batubara. Bekas tangki besar pun sekarang menjadi danau kecil,'' imbuh Sutikno (52), warga Jalan Sleko didampingi petugas security PT PGN Fendi Hermawanto yang kemarin siang bertugas piket berjaga. (KS)

Comments

  1. Sayang banget, cagar budaya merangkak apa lagi sisi utara ada bangunan yg sudah gak ke urus, saya udah kesana mimin ngambil beberapa spot, saya belum masuk ke area dalam.

    ReplyDelete

Post a Comment