Sejarah Kampung Kintelan

Dari Kinderland, Kruntelan hingga Kintelan

RIMBUNNYA pohon Jambu Mete yang tumbuh di salah satu bukit yang kini ada di belakang kantor KPU Jawa Tengah masih diingat betul oleh bapak lima anak yang tinggal di kawasan itu sejak pertengahan 1963.
Saat ditemui, Sanyoto, lelaki kelahiran 73 tahun lalu yang akrab disapa Mbah Nyoto menuturkan, setelah diterima menjadi karyawan RSUP Dokter Kariadi, ia pun tinggal di kampung yang hanya berdiri 16 rumah saja. Selain rumah, juga telah berdiri tempat ibadah Pura Agung Giri Natha yang dibangun oleh tentara Belanda yang menjajah Indonesia saat itu.
''Tentara Belanda pernah melakukan penyerangan dengan meriam dari samping pura kepada kapal-kapal yang hendak merapat ke pelabuhan. Saat pertama kali bermukim disini, tempat dan meriam masih ada. Tapi sekarang entah kemana, saya sendiri tidak tahu, karena sudah menjadi bangunan perumahan mewah,'' tuturnya.
Seiring waktu berjalan, kawasan yang sebelumnya hutan itu pun mulai ramai digunakan untuk pemukiman warga. Rumah-rumah yang berdiri pun tidak beraturan. Kawasan yang dahulu hutan itu pun kini penuh sesak dengan rumah.
''Kalau soal nama Kampung Kintelan, ada beragam versi. Salahsatunya, karena penuh sesak oleh rumah atau kruntelan bahasa Jawanya, maka disebut menjadi Kintelan. Ada juga yang menyebut Kintelan berasal dari kintel atau katak, karena sebelum menjadi pemukiman padat, banyak dihuni katak. Tapi ada juga yang mengisahkan kawasan ini sebagai taman yang dibangun Belanda atau Kinderland,'' paparnya.
Dijelaskan pula, sebelum pemekaran wilayah, Kampung Kintelan hanya terdiri dari dua rukun tetangga (RT), RT 7 dan RT 8. Kini, kampung yang masuk wilayah RW 3 Kelurahan Bendungan, Kecamatan Gajahmungkur itu terbagi menjadi tujuh RT dengan 260-an kepala keluarga (KK). Makam yang ada di Bukit Kintelan pun kini tinggal lima buah.  
''Kantor KPU, gedung Korpri dan sebagian SD itu dulu juga makam. Jalan kampung yang dahulu kurang dari dua meter pun kini sudah lebar dan mobil bisa masuk,'' tutur Sanyoto yang pernah menjabat Ketua RT selama 17 tahun itu.
Salah satu tokoh masyarakat Kelurahan Bendungan, Imam Sucahyo (53) menambahkan, banyaknya peninggalan-peninggalan dan cerita sejarah yang ada di Kelurahan Bendungan menjadi kekayaan budaya yang harus dipertahankan. Salah satunya rumah peninggalan Belanda yang ada di Kampung Kintelan, ledeng umum yang masih berfungsi baik, jamban besar, serta rumah-rumah dengan dinding kayu jati yang kini nyaris tergantikan dengan bangunan rumah minimalis.
''Saya sendiri masih berupaya menelusuri sejarah demi sejarah, kenapa diberi nama Kelurahan Bendungan, kemudian ada Kampung Ngaglik Lama, Ngaglik Baru, Kintelan dan Gajahmungkur,'' ungkap bapak tiga anak yang juga sekretaris RT 2 RW 1 Kampung Ngaglik Lama.*

Comments