Rebana Syahroni Mengalun Hingga Suriname

Kalau Sudah Kering, Berbunyi Ting

TUNG…tung…tung…dung! dung! dung!… dung! dung! dung!…ting...ting...ting!  Suara keras berirama terdengar ketika memasuki sebuah gang di samping Masjid Darussalam yang ada di Kampung Pongangan, Gunungpati. Seorang lelaki berkaca mata tengah mencoba menabuh beberapa bulatan kayu yang disisi atasnya terdapat kulit binatang yang masih menyisakan bulu-bulu tipis.
Satu per satu bulatan-bulatan kayu beragam bentuk dan ukuran yang dijemur di depan masjid itu ia ketuk. Syahroni (58) warga Kelurahan Pongangan RT 2 RW 1 Kecamatan Gunungpati itu pun mengambil beberapa dan membawanya ke dalam rumah yang tidak jauh dari masjid itu.
''Kalau sudah kering, diketuk suaranya ting. Kalau belum kering, masih mbek...mbek... suaranya,'' ujar Syahroni.
Ya, Syahroni, cukup dikenal sebagai perajin aneka macam rebana dan bedug beragam ukuran. Hasil produksinya, tak hanya beredar di pasaran Kota Semarang saja. Kelompok seni dari kota dan kabupaten yang ada di Jawa Tengah seperti Wonogiri, Klaten, Cilacap, Kebumen, Magelang hingga Riau, Papua, Kalimantan, dan Sumatera memercayai produk rebana hasil Syahroni sebagai produk berkualitas.
Saat ditemui, Syahroni pun mulai menuturkan usahanya. Tak hanya rebana saja yang ia buat, tambur, remo, konga, kendang, balasik dan marawis dibuat secara turun temurun, dari kakek dan ayahnya, H Salwadi Putra yang tinggal di Jalan Betengan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak.
Sebelum memutuskan untuk menggeluti usaha itu, Syahroni pernah bekerja di Departemen Agama sebagai tenaga honorer dan hampir menjadi PNS di Pemerintah Kabupaten Demak, karena sudah berstatus calon alias capeg.
Pada 1973-1974, suami Muhimmatun (41) itu mengaku hanya menerima honor Rp 7.000 per bulan. Karena merasa dengan honor sebesar itu tidak cukup untuk membeli kebutuhan, bapak dua anak itu pun beralih pekerjaan menjadi sopir.
''Saat sibuk menggeluti profesi sebagai sopir, adik saya mengajak untuk meneruskan usaha yang selama ini dilakukan oleh ayah, yakni membuat rebana dan bedug. Untuk satu set rebana yang terdiri atas empat genjring, tiga ketiplak dan tiga gendang bas saya mematok harga mulai Rp 4,3 juta. Untuk bedug dengan diameter 100 sentimeter lengkap dengan kentongan, dipatok Rp 15 juta,'' tuturnya.
Bedug berdiameter 120 sentimeter harganya Rp 25 juta, dan berdiameter 130 sentimeter harganya mencapai Rp 30 juta termasuk kentongan dan tiang penyangga. Untuk jenis remo satu set, harganya Rp 1,6 juta, konga Rp 2 juta, dan tambur yang biasanya untuk pengiring kesenian barongsai harganya kurang lebih Rp 5 juta..
Untuk membuat seperangkat rebana maupun bedug, Syahroni membutuhkan waktu sekitar 20 hari. Ia harus memilih kayu mahoni dan nangka, serta kulit kambing dan kerbau yang berkualitas untuk menjaga hasil dan produknya digemari konsumen.
Untuk mendapatkan hasil dan kualitas suara serta tahan lama, proses pengeringan, kemudian dibasuh lagi dengan air, kemudian dipress, dilakukan berkali-kali. Kesabaran dan mampu menahan emosi, menjadi syarat wajib bagi laki-laki tiga bersaudara ini dalam menjalankan usahanya. Bahkan semakin lama proses pengerjaan, akan semakin bagus produk yang dihasilkannya itu. *

Comments