Ketika Korban KDRT Dirikan Rumah Makan

Wujud Perempuan yang Berdaya dan Berkualitas

LALU lalang kendaraan melintas dari arah Kendal memasuki Kota Semarang yang siang itu sinar matahari terasa sangat terik. Debu tipis pun beterbangan setelah kendaraan besar melintas kencang. Para pemilik warung, toko maupun bengkel nampak sibuk melayani konsumennya.
Pemandangan yang sama juga terlihat di rumah makan yang ada di samping PT Borobudur Mitsubishi. Sekilas, rumah makan yang berdiri di Jalan Raya Mangkang Nomor 1 itu seperti rumah makan lainnya. Spanduk berbahan MMT tertulis Rumah Makan Sekar Taji. Dibawahnya, tertulis menu yang ditawarkan kepada konsumen seperti, Rica-rica Bebek Khas Ibu Genit Semarang, Soto Semarang dan Aneka Minuman Menyegarkan.
Suasana di dalam rumah makan pun juga terlihat biasa, meja dan beberapa kusi tertata rapi. Di sudut ruangan berukuran cukup besar itu, deretan menu seperti Ayam Goreng, Mie Goreng, Ikan Pindang dan Kering Tempe ditata rapi di atas piring besar dan berada di dalam lemari etalase. Lalu, apa yang istimewa?
Rumah Makan Sekar Taji yang berdiri dan diresmikan pada Selasa (31/10) oleh Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah Agnes Widanti itu ternyata didirikan oleh ibu-ibu korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tergabung dalam Komunitas Support Group Sekar Taji. Sebuah komunitas korban kekerasan terhadap perempuan yang didirikan oleh Pusat Sumber Daya Hukum untuk Keadilan Jender dan HAM (Legal Resources Center for Gender Justice and Human Rights) atau disingkat dengan LRC-KJHAM.
''Kekerasan fisik dulu sering dilakukan suami saya, baik kepada saya maupun anak saya mulai ketika masih memiliki satu anak hingga tiga anak. Paling puncaknya, saya dan ketiga anak saya mau dibunuh. Daripada ikut suami, akhirnya anak-anak saya bawa dan tinggal di rumah yang saya beli dari hasil kerja. Pada 2005 kita memutuskan untuk bercerai, dan pada 2010, mantan suami saya meninggal,'' tutur Elisa (53), pengurus bidang pemberdayaan ekonomi dan sosial Support Group sekaligus pendiri Rumah Makan Sekar Taji, yang mengaku harus menjadi ibu sekaligus kepala rumah tangga setelah bercerai dengan suaminya, kemarin.
Setelah pensiun dari RS Kariadi, ia pun bergabung dengan organisasi Seruni kemudian aktif dalam Support Group hingga sekarang ini. Berdirinya rumah makan itu, kata dia juga berangkat dari ide para anggota Support Group yang berharap muncul sebuah usaha mengangkat ekonomi dan makin menyolidkan organisasi perempuan. Seratusan ide pun bermunculan, hingga diisepakati berdirinya rumah makan.
''Pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan para anggota harus dikembangkan, karena tanpa menerapkan pengalaman yang sudah kita jalankan maka kemungkinan kita akan menjadi sangat terbelakang. Melalui rumah makan ini, kita akan mewujudkan perempuan yang bersemangat, berdaya, berani dan berkualitas '' tandasnya.
Mantan korban KDRT lainnya, Muyayat (43) yang juga pengurus bidang pendidikan dan kampanye Support Group menambahkan, faktor ekonomi sering menjadi salah satu masalah terjadinya KDRT.
''Dari masalah itu, kami bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam hubungan rumah tangga, saling komunikasi, pengertian, dan terbuka harus dilakukan, apapun itu masalahnya. Kalau terjadi miss komunikasi, yang akan terjadi pastinya tidak baik. Hubungan juga tidak cukup cinta saja, tapi kuncinya komunikasi, pengertian, tanggungjawab dan kasih sayang. Mendahului meminta maaf, sabar dan jangan pernah membawa masalah dari luar rumah dan mencampuradukan,'' tutur ibu tiga anak yang dahulu sering mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari suaminya itu.
Dipilihnya nama Sekar Taji, imbuh Elisa, berasal dari Sekar yang berarti bunga atau perempuan dan Taji yang berarti jalu atau keberanian.Ia pun berharap, ke depan, rumah makan itu juga akan menyediakan oleh-oleh khas Semarang seperti lunpia, wingko babat, bandeng presto dan makanan khas yang unik lainnya.*

Comments