PEREMPUAN PEJUANG dan PEJUANG PEREMPUAN

Dengan sabar, perempuan 70-an tahun itu menggelar karung plastik menanti pembeli yang lalu lalang di pojok pasar Bandarjo Ungaran. Sejak pukul 05.00 WIB, Karsih diantar anaknya berangkat dari Desa Kawengen, Kecamatan Ungaran Timur, 17 km arah timur Kota Ungaran.
Mbah Sih, panggilan akrabnya. Ia membeli kelapa dari halaman pasar dan menjualnya kembali ke dalam los pasar yang belum rampung dibangun sejak kebakaran setahun lalu. Keuntungan yang dia dapat Rp. 150,- per buah kelapa. Dalam sehari, ia mampu menjual 15-20 buah.
Lain Mbah Sih, lain pula Mbok Ponirah, perempuan berumur separuh abad dengan 5 anak dari Desa Gogik Kecamatan Ungaran Barat yang menjual sayur dari hasil kebunnya sendiri. Dia menjual dagangannya mulai pukul 07.00 WIB.
''Saya bangun saat adzan Subuh dikumandangkan dari Langgar dekat rumah, kemudian sholat jama'ah di Langgar, pulang, masak untuk sarapan keluarga, sedangkan Bapak (suami, red) bersiap pergi glidig, jadi tukang sapu di kantor Bupati,'' tuturnya sambil tersenyum.
Setiap harinya, ia berjualan sampai pukul 12.00 WIB dengan keuntungan Rp. 10 ribu hingga Rp. 15 ribu.
''Alhamdulillah, kalau digabungin dengan penghasilan suami, cukup dicukupin buat makan dan jajan anak-anak,'' tandasnya.
Baik Mbah Sih maupun Mbok Ponirah, bekerja karena tanggung jawab mereka kepada keluarga. Tidaklah cukup menggantungkan perekonomian keluarga hanya dari penghasilan suami.
''Waduh Mas, hidup harus terus berusaha, ora obah yo ora mamah, roda macet yo ora ngliwet (tidak gerak ya tidak mengunyah/makan, roda macet ya tidak menanak nasi), sejak kecil harus sudah prihatin,'' kata Mbah Sih.
Ya, Mbah Sih dan Mbok Ponirah, adalah sosok pejuang sejati wanita yang tetap hidup ditengah kehidupan yang makin modern dan kapitalis. Harga-harga Sembako yang tak kunjung turun meski harga BBM telah diturunkan oleh Pemerintah.
Kemiskinan tidak membuat mereka minder, malu ataupun benci kepada orang-orang yang lebih beruntung dari mereka, bahkan mereka tak pernah menghujat Tuhan. Memendam bara dalam dada yang siap menyala oleh sulutan api dendampun tak pernah mereka lakukan. Berusaha adalah kata terindah yang kerap mereka ucapkan.
''Kalau harga naik ya biarkan saja, saya menjual dagangan sedapatnya saja, tidak usah ngoyo, yang penting masih cukup buat makan, dan beramal jariyah. Dan hidup bukan untuk makan, tapi makan untuk hidup dan berusaha,'' tegas Mbah Sih.
Kemiskinan, tidak membuat mereka merasa miskin, mereka menerima apapun yang didapat (nrimo ing pandhum). Orang kaya bukanlah orang yang kaya akan harta, tapi orang yang kaya hati.
Pemilu 2009, bagi mereka tidak membawa pengaruh, karena berulangkali mereka mencoblos, tak pernah ada kemajuan materiil yang diperoleh.
''Paling ikut kebagian amplop, setelah itu, yang bagi amplop sibuk memperkaya dirinya sendiri, lihat saja mereka, adakah yang menjadi miskin, paling parah ya dipenjara karena korupsi, kalau nyogok aparat? Bebas tertawa , makin sombong dan mabuk, lihat saja...,'' ujar Mbok Ponirah kesal. [ems]

(Catatan Em Syukron Rabu 18 Maret 2009 jam 06.14 WIB saat nganter istri beli beras dan gula pasir, hidup berdua di rumah kontrakan, beras 3 kg cukup untuk makan sebulan, heran dech... eh, Subhanallah walhamdulillah wa syukurillah...)

Comments